Euforia
menyambut pesta demokrasi pemilihan anggota legislatif 9 April 2014 semakin
terasa. Jalanan penuh sesak dengan baliho-baliho caleg lengkap dengan potonya,
televisi semakin berwarna dengan iklan-iklan partai, serta obrolan masyarakat
yang tak henti-henti membahas tentang partai dan pilihannya. Inilah salah satu
bentuk demokrasi yang sejak dari dulu diangung-agungkan dalam ungkapan dari
rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.
Agenda
5 tahunan ini memang menjadi isu nasional karena dengan pemilihan ini
diharapkan terpilih wakil-wakil rakyat yang akan memperjuangkan nasib
masyarakat Indonesia. Para anggota legislatif yang nantinya terpilih tentunya
akan menduduki jabatan di Dewan Perwakilan Rakyat, mengurusi segala bentuk
kebijakan yang dianggap baik untuk masyarakat Indonesia.
Tulisan
ini mungkin tidak akan terlalu ‘serius’ jika dibandingkan dengan komentar para
pengamat politik yang sering tampil di televisi. Tetapi cukuplah mengobati
gelisah diri pribadi sebagai masyarakat yang masih awam ini :)
Iklan yang ‘Menyesatkan’
Untuk
tahun 2014 ini terdapat 15 partai yang mengikuti bursa dalam pemilihan umum. Jumlah
partai yang mengikuti pemilu cukup fluktuatif jika dilihat sejak tahun 1999
yang berjumlah 48 partai, tahun 2004 sejumlah 24 partai, dan tahun 2009
terdapat 38 partai. Dari ke-15 partai yang mengikuti bursa pemilu pada 2014 ini
terdapat 6.608 caleg yang akan berebut kursi di parlemen. Padahal untuk anggota
DRR RI hanya tersedia 560 kursi saja. Jadi akan ada 6048 caleg yang dipastikan
gagal memasuki gerbang parlemen.
Masyarakat
tentu saja tak akan memilih jika caleg yang mencalonkan diri tidak populer,
dalam kata lain tingkat elektabilitasnya cenderung akan lemah. Untuk itu
berlomba-lombalah mereka (para caleg) mempromosikan diri dengan berkampanye
melalui media. Lihat saja, jalanan penuh dengan bendera warna-warni partai,
tembok-tembok penuh poster caleg, televisi penuh dengan iklan partai.
Iklan
yang disampaikaan juga tak jauh berbeda dengan iklan-iklan yang disampaikan
pada pemilihan umum sebelumnya. Jargon-jargon tentang : bersih dari korupsi,
pemimpin yang adil, partainya wong cilik, sekolah gratis, kesehatan terjamin,
dan berbagai iklan lain yang terlihat ‘standar’. Mungkin ada kemudian yang
berinovasi dengan membalik gambar caleg ataupun mempromosikan partai dengan
ke-ganteng-an pemimpin partai. Apalah itu, yang penting bisa menarik perhatian
penonton.
Sayangnya,
masyarakat mulai jenuh dengan iklan-iklan semacam itu, dan mulai terasah sikap
kritisnya. Hal ini memunculkan apatisme masyarakat terhadap politik, apatis
terhadap pemerintah dan cenderung under
estimate terhadap orang-orang di ‘dewan’.
Sebenarnya
wajar saja jika masyarakat bersikap demikian. Dengan banyaknya anggota DPR yang
terseret kasus korupsi, masyarakat semakin tidak percaya dengan para anggota
dewan. Pamor DPR yang awalnya sebagai pembuat kebijakan dalam Undang-Undang
juga hanya dianggap sebagai penerus ideologi tertentu dalam kebijakannya.
Mereka dianggap tidak lagi mengataskan namakan masyarakat, akan tetapi hanya
mengatas namakan kelompok tertentu.
Dalam
sebuah data yang dilansir dari Lensa Indonesia tentang korupsi di Indonesia,
terdapat 11 partai yang orang-orang di dalamnya terkena kasus korupsi. Korupsi
tertinggi dalam grafik tersebut dilakukan oleh PDIP sejumlah 7.7% dan tingkat
korupsi terendah adalah PKS dengan 0.3%. Hal ini cukup mengejutkan bila
kemudian kita melihat sejumlah partai yang mengatasnamakan agama juga terlibat
dalam korupsi. Walaupun jumlahnya sedikit, akan tetapi tetap saja terdapat
korupsi di dalamnya.
Dari
hal ini, iklan-iklan kampanye di media terlihat sangat ‘menyesatkan’, karena di
awal mereka promosi tidak akan korupsi dan mengaku sebagai partainya wong cilik.
Ternyata setelah masuk dalam lingkaran dewan yang terhormat, tetap saja menjadi
koruptor dan menindas wong cilik. Miris.
Mengutip
kata-kata Ustad yang belum lama mengisi pengajian di kampung saya, dia
menganalogikan tentang Pilkabe dan Pilkada. Kalau Pilkabe ‘nek lali, jadi’ (Kalau
lupa, JADI). Nah kalau Pilkada ‘nek wes dadi, lali’ (Kalau sudah jadi, LUPA).
Lihat
saja, apakah pemilihan caleg April mendatang akan seperti Pilkada, Kalau sudah
JADI, LUPA :D
Fenomena Golput
Golput
sebuah singkatan dari golongan putih, yang merupakan julukan untuk orang-orang
yang tidak memilih dalam pemilu dikarenakan suatu sebab. Yah, walaupun untuk bursa
pemilu 2014 besok ada pula partai yang berwarna putih, kenapa mereka tidak
menamakan dirinya GolPut (Golongan partai Putih) ya? hehe. Just Kidding!
Untuk
Indonesia sendiri dari data yang dirilis oleh KPU terdapat 186.612.255 orang
yang sudah dapat memilih untuk Pileg ini. Tentu saja jumlah ini sudah merupakan
akumulasi masyarakat yang berusia di atas 17 tahun, baik pemilih pemula ataupun
pemilih manula :p
Kemudian
apakah jumlah yang sebegitu besarnya, akan memilih semua? Tentu saja tidak.
Berkaca dari pengalaman pemilihan sebelumnya pada Pemilu 2009, sebesar 29.6%
orang ternyata memilih golput. Dari sini terlihat walaupun golput bukan
merupakan nama partai, ternyata mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia
dalam jumlah yang cukup besar :D
Dalam sebuah obrolan dengan seorang mahasiswi
di Jogja tentang pilihan politik. Kurang lebih dia berkata seperti ini ‘Aduh,
aku bingung besok April pilih presiden yang mana ya?’. Wow, sangat mengejutkan
ketika seorang mahasiswi pun ternyata tidak tahu bahwa pemilihan umum pada
April 2014 adalah pilihan calon legislatif bukan pemilihan Presiden. Adakah
yang salah dengan hal ini?
Ada
2 kemungkinan melihat ekspresi kebingungan mahasiswi tersebut. Yang pertama,
tingkat apatisme terhadap politik yang sudah sangat akut stadium 4. Atau yang
kedua, kurangnya sosialisasi tentang pemilihan calon legislatif di masyarakat.
Belum
lagi jika si mahasiswi tersebut tahu jumlah caleg yang tertera dalam lembar
surat suara. Kemungkinan dia akan lebih bingung lagi, bisa jadi dia menghitung
kancing ketika masuk di TPS (Tempat Pemungutan Suara) :D. Ini sebuah gambaran
kecil saja, bahwa ternyata masyarakat yang berpendidikan sekalipun tidak
semuanya mengetahui tentang agenda pemilihan legislatif tersebut.
Bisa
dibayangkan jika kita tanyakan tentang pemilihan caleg pada masyarakat kelas
bawah yang secara ekonomi dan pendidikan tidak ‘menjangkau’ pemikiran tentang pemilihan
caleg. Mungkin jawaban paling sederhana yang dia ungkapkan seperti ini ‘Ya
nanti yang kasih duwit, yang kita pilih lah’. Sudah sampai seperti itulah
masyarakat kita saat ini, MasyaAllah.
Apatisme
politik dan ketidaktahuan terhadap apa yang dipilih inilah yang kemudian
menurut saya menjadi salah satu pemicu adanya golput dalam pemilihan. Dalam
sebuah pemberitaan di rumahpemilu.org dijelaskan tentang 3 macam golput yang
ada di Indonesia.
Yang
pertama golput administratif, golput yang disebabkan tidak terdaftarnya pemilih
di KPU setempat walaupun secara umur dll telah memenuhi kriteria sebagai
pemilih. Kedua golput teknis yang terjadi akibat apatisnya terhadap pemilihan
sehingga tidak datang untuk memilih. Ketiga, golput politis yaitu mereka yang
tidak memilih atas dasar secara politis ataupun ideologis tertentu.
Dengan
tingkat golput yang cukup tinggi ini, MUI pun memberikan sebuah fatwa haram
terhadap Golput. Walaupun Golput yang di rekomendasikan MUI bukan merupakan
fatwa haram yang mengikat. Jadi sejauh masih ada calon pemimpin yang yang
memenuhi syarat-syarat menjadi pemimpin, maka haram hukumnya untuk golput (selengkapnya
klik di sini).
Lalu
efek yang terjadi bila banyak yang Golput bagaimana? Wow, tentu saja segala
kebijakan pemerintah tidak didukung oleh sebagaian besar masyarakat. Lalu? Kemungkinan
besar akan cukup kacau suasananya dan berimbas pada ekonomi, sosial, dan
politik. Wallahualam.
Pemimpin Ideal : Meneladani Sifat
Rasulullah SAW
Melihat
fenomena di atas yang cukup ‘panas’, mari sejenak mendinginkan diri dengan
melihat sifat-sifat suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW. Sikap dan perilakunya
sebagai pemimpin umat Islam patut untuk kita teladani bersama
Shiddiq.
Diartikan bahwa beliau memiliki karakter benar dan jujur, baik dalam setiap
pembicaraan dan perilaku. Karakter ini sangat penting bagi seorang pemimpin.
Bila pemimpin tidak jujur dan selalu memakan hasil keringat masyarakat tentu
saja sudah tidak masuk dalam kategori ‘pilihan’.
Tabligh.
Artinya menyampaikan, bahwa seorang pemimpin harus bertanggung jawab terhadap
apa yang dilakukannya. Pemimpin harus mampu menyampaikan berbagai macam
kebenaran-kebenaran tentu saja segala kebijakan pemerintahan harus sesuai
dengan syariat Islam (Quran dan Hadist).
Amanah.
Yaitu dapat dipercaya, bahwa segala tindak tanduk seorang pemimpin harus dapat
dipercaya. Segala yang sudah menjadi pekerjaannya akan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, begitulah pemimpin.
Fatonah.
Berarti cerdas, dalam artian pemimpin harus cerdas dan pintar mengambil
kebijakan. Tentu saja kebijakan yang akan bermanfaat untuk masyarakat luas.
Bisa juga lihat cerdas mengambil peluang yang sekiranya dapat meningkatkan
kemakmuran masyarakat.
Sungguh
luar biasa sikap kepemimpinan Rasulullah tersebut. Kemudian lihatlah calon –
calon yang masuk dalam bursa pemilu atau pileg mendatang, apakah kemudian ada
yang sekiranya memiliki karakter seperti Rasulullah?. Walaupun kemudian tidak
akan sama persis tetapi menyerupai minimal meneladani, marilah dan wajib kita pilih!
Akan
tetapi bila belum ada yang hampir menyerupai sifat-sifat baginda Rasullulluah
trus gimana? Wallahu’alam.
-berfikir-