Buscar

Titian Takdir


“Selamat ya...”

Hanya kata itu yang sanggup aku ucapkan dalam keterbata-bataan, tangis menghujam deras di pipiku. Begitupun dia, yang secara refleks kupeluk dengan erat, entah perasaan macam apa yang kurasakan kala itu. Sedih, kecewa, merasa gagal, semua tercampur aduk tak berbentuk. Berpasang-pasang mata menatapku aneh, menatapku dan dia dengan iba, menatapku dan dia dengan penuh haru.
Ahhh, aku merasakan juga perasaan ini, perasaan yang tak jelas wujudnya. Menangis saja, sedih saja, kecewa saja.

Kebahagiaan Semu

Aku tak tahu, siapakah yang harus disalahkan. Yang pasti, bisa jadi aku termasuk orang yang perlu disalahkan dalam hal ini. Iya. Aku tak pernah mengingatkanmu, aku tak pernah menanyakan bagaimana pergaulanmu, aku tak pernah berusaha untuk menyelami mu lebih. Yang kutahu hanya kita sama-sama mencari ilmu, sebagai kakak aku membimbingmu, sebagai kakak aku memberimu contoh, sebagai kakak aku mengajakmu dalam hal kebaikan, yang tentu saja baik menurutku, entah menurutmu.

Pertemuan kita yang hanya seminggu sekali mungkin kurang terasa, dibandingkan dengan enam hari kau di luar sana bersama kawan-kawanmu. Atau orang tuamu, aku, dan teman-teman kita luput mengawasimu, hingga kau memilih jalan lain yang Allah tak pernah luput mengawasinya.

Mungkin hal itu membahagiakanmu, aku juga tak tahu seperti apa bahagianya hal itu. Tapi bukankah kita tahu itu haram, dilarang agama, dilarang juga dalam norma – norma kita.

Tapi sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Terlanjur. Itulah, mungkin ini juga salahku terlalu membiarkanmu dalam kebahagiaan semu.

Aku tak bisa menyalahkan setan dalam hal ini. Karena memang sudah tugasnya menggoda manusia dan sudah di legalisir juga oleh Tuhan kita, Allah SWT. Aku masih merasa diriku salah, tidak menanyakan kabarmu dan pergaulanmu.

Jangan pernah berduka sayang, karena kau memilih bahagiamu sendiri. Bahagiamu yang sesaat, bahagiamu yang aku tak pernah tahu seperti apa bahagianya. Iya, mungkin sebagian kesalahanmu adalah kesalahanku juga. Karena aku tak pernah tanyakan kabarmu dan pergaulanmu.

Masa Depan Kelabu?

Ketika kuucapkan ‘selamat’ untukmu, sebenarnya aku tak pernah tahu untuk apa aku menyelamati mu. Apakah kuucapkan selamat atas ‘kebahagiaan semunya’ ataukah selamat atas bayi yang kau kandung? Ya, kuucapkan selamat atas pernikahanmu saja. Entah, apakah itu juga perlu diselamati. Wallahu’alam.

Hanya yakin saja, semoga kau lebih baik lagi di masa-masa mendatang. Bukankah pada zaman dahulu sahabat-sahabat Rasul juga bukan orang yang baik? Lihat saja Abu Bakar, bukankah dulunya dia adalah seorang peminum khamr, penjudi, dan termasuk preman kelas kakap di jamannya. Tapi ingatlah, ketika dia sudah bertaubat dan berjihad di jalan Allah ternyata dia menjadi salah satu sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga-Nya. Subhanallah.

Sabar ya sayang, setiap perilaku kita ada konsekuensinya. Tetapi percayalah, tak ada yang namanya masa depan kelabu bagi orang yang berniat untuk bertaubat dan istiqomah di jalan-Nya. Bertaubatlah sayang, dengan sebenar-benarnya, dengan setulus-tulusnya. Ambillah ibroh dari hal ini, dan jadikan sebagai pelecut hidupmu untuk lebih baik lagi.

Tetap semangat  sayang. Aku menyayangimu...


Memilih Pemimpin yang Ideal



Euforia menyambut pesta demokrasi pemilihan anggota legislatif 9 April 2014 semakin terasa. Jalanan penuh sesak dengan baliho-baliho caleg lengkap dengan potonya, televisi semakin berwarna dengan iklan-iklan partai, serta obrolan masyarakat yang tak henti-henti membahas tentang partai dan pilihannya. Inilah salah satu bentuk demokrasi yang sejak dari dulu diangung-agungkan dalam ungkapan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.

Agenda 5 tahunan ini memang menjadi isu nasional karena dengan pemilihan ini diharapkan terpilih wakil-wakil rakyat yang akan memperjuangkan nasib masyarakat Indonesia. Para anggota legislatif yang nantinya terpilih tentunya akan menduduki jabatan di Dewan Perwakilan Rakyat, mengurusi segala bentuk kebijakan yang dianggap baik untuk masyarakat Indonesia. 

Tulisan ini mungkin tidak akan terlalu ‘serius’ jika dibandingkan dengan komentar para pengamat politik yang sering tampil di televisi. Tetapi cukuplah mengobati gelisah diri pribadi sebagai masyarakat yang masih awam ini :) 

Iklan yang ‘Menyesatkan’

Untuk tahun 2014 ini terdapat 15 partai yang mengikuti bursa dalam pemilihan umum. Jumlah partai yang mengikuti pemilu cukup fluktuatif jika dilihat sejak tahun 1999 yang berjumlah 48 partai, tahun 2004 sejumlah 24 partai, dan tahun 2009 terdapat 38 partai. Dari ke-15 partai yang mengikuti bursa pemilu pada 2014 ini terdapat 6.608 caleg yang akan berebut kursi di parlemen. Padahal untuk anggota DRR RI hanya tersedia 560 kursi saja. Jadi akan ada 6048 caleg yang dipastikan gagal memasuki gerbang parlemen. 

Masyarakat tentu saja tak akan memilih jika caleg yang mencalonkan diri tidak populer, dalam kata lain tingkat elektabilitasnya cenderung akan lemah. Untuk itu berlomba-lombalah mereka (para caleg) mempromosikan diri dengan berkampanye melalui media. Lihat saja, jalanan penuh dengan bendera warna-warni partai, tembok-tembok penuh poster caleg, televisi penuh dengan iklan partai. 

Iklan yang disampaikaan juga tak jauh berbeda dengan iklan-iklan yang disampaikan pada pemilihan umum sebelumnya. Jargon-jargon tentang : bersih dari korupsi, pemimpin yang adil, partainya wong cilik, sekolah gratis, kesehatan terjamin, dan berbagai iklan lain yang terlihat ‘standar’. Mungkin ada kemudian yang berinovasi dengan membalik gambar caleg ataupun mempromosikan partai dengan ke-ganteng-an pemimpin partai. Apalah itu, yang penting bisa menarik perhatian penonton. 

Sayangnya, masyarakat mulai jenuh dengan iklan-iklan semacam itu, dan mulai terasah sikap kritisnya. Hal ini memunculkan apatisme masyarakat terhadap politik, apatis terhadap pemerintah dan cenderung under estimate terhadap orang-orang di ‘dewan’. 

Sebenarnya wajar saja jika masyarakat bersikap demikian. Dengan banyaknya anggota DPR yang terseret kasus korupsi, masyarakat semakin tidak percaya dengan para anggota dewan. Pamor DPR yang awalnya sebagai pembuat kebijakan dalam Undang-Undang juga hanya dianggap sebagai penerus ideologi tertentu dalam kebijakannya. Mereka dianggap tidak lagi mengataskan namakan masyarakat, akan tetapi hanya mengatas namakan kelompok tertentu.

Dalam sebuah data yang dilansir dari Lensa Indonesia tentang korupsi di Indonesia, terdapat 11 partai yang orang-orang di dalamnya terkena kasus korupsi. Korupsi tertinggi dalam grafik tersebut dilakukan oleh PDIP sejumlah 7.7% dan tingkat korupsi terendah adalah PKS dengan 0.3%. Hal ini cukup mengejutkan bila kemudian kita melihat sejumlah partai yang mengatasnamakan agama juga terlibat dalam korupsi. Walaupun jumlahnya sedikit, akan tetapi tetap saja terdapat korupsi di dalamnya.  



Dari hal ini, iklan-iklan kampanye di media terlihat sangat ‘menyesatkan’, karena di awal mereka promosi tidak akan korupsi dan mengaku sebagai partainya wong cilik. Ternyata setelah masuk dalam lingkaran dewan yang terhormat, tetap saja menjadi koruptor dan menindas wong cilik. Miris. 

Mengutip kata-kata Ustad yang belum lama mengisi pengajian di kampung saya, dia menganalogikan tentang Pilkabe dan Pilkada. Kalau Pilkabe ‘nek lali, jadi’ (Kalau lupa, JADI). Nah kalau Pilkada ‘nek wes dadi, lali’ (Kalau sudah jadi, LUPA). 

Lihat saja, apakah pemilihan caleg April mendatang akan seperti Pilkada, Kalau sudah JADI, LUPA :D

Fenomena Golput

Golput sebuah singkatan dari golongan putih, yang merupakan julukan untuk orang-orang yang tidak memilih dalam pemilu dikarenakan suatu sebab. Yah, walaupun untuk bursa pemilu 2014 besok ada pula partai yang berwarna putih, kenapa mereka tidak menamakan dirinya GolPut (Golongan partai Putih) ya? hehe. Just Kidding!

Untuk Indonesia sendiri dari data yang dirilis oleh KPU terdapat 186.612.255 orang yang sudah dapat memilih untuk Pileg ini. Tentu saja jumlah ini sudah merupakan akumulasi masyarakat yang berusia di atas 17 tahun, baik pemilih pemula ataupun pemilih manula :p

Kemudian apakah jumlah yang sebegitu besarnya, akan memilih semua? Tentu saja tidak. Berkaca dari pengalaman pemilihan sebelumnya pada Pemilu 2009, sebesar 29.6% orang ternyata memilih golput. Dari sini terlihat walaupun golput bukan merupakan nama partai, ternyata mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia dalam jumlah yang cukup besar :D

Dalam sebuah obrolan dengan seorang mahasiswi di Jogja tentang pilihan politik. Kurang lebih dia berkata seperti ini ‘Aduh, aku bingung besok April pilih presiden yang mana ya?’. Wow, sangat mengejutkan ketika seorang mahasiswi pun ternyata tidak tahu bahwa pemilihan umum pada April 2014 adalah pilihan calon legislatif bukan pemilihan Presiden. Adakah yang salah dengan hal ini?  

Ada 2 kemungkinan melihat ekspresi kebingungan mahasiswi tersebut. Yang pertama, tingkat apatisme terhadap politik yang sudah sangat akut stadium 4. Atau yang kedua, kurangnya sosialisasi tentang pemilihan calon legislatif di masyarakat.

Belum lagi jika si mahasiswi tersebut tahu jumlah caleg yang tertera dalam lembar surat suara. Kemungkinan dia akan lebih bingung lagi, bisa jadi dia menghitung kancing ketika masuk di TPS (Tempat Pemungutan Suara) :D. Ini sebuah gambaran kecil saja, bahwa ternyata masyarakat yang berpendidikan sekalipun tidak semuanya mengetahui tentang agenda pemilihan legislatif tersebut.

Bisa dibayangkan jika kita tanyakan tentang pemilihan caleg pada masyarakat kelas bawah yang secara ekonomi dan pendidikan tidak  ‘menjangkau’ pemikiran tentang pemilihan caleg. Mungkin jawaban paling sederhana yang dia ungkapkan seperti ini ‘Ya nanti yang kasih duwit, yang kita pilih lah’. Sudah sampai seperti itulah masyarakat kita saat ini, MasyaAllah. 

Apatisme politik dan ketidaktahuan terhadap apa yang dipilih inilah yang kemudian menurut saya menjadi salah satu pemicu adanya golput dalam pemilihan. Dalam sebuah pemberitaan di rumahpemilu.org dijelaskan tentang 3 macam golput yang ada di Indonesia.

Yang pertama golput administratif, golput yang disebabkan tidak terdaftarnya pemilih di KPU setempat walaupun secara umur dll telah memenuhi kriteria sebagai pemilih. Kedua golput teknis yang terjadi akibat apatisnya terhadap pemilihan sehingga tidak datang untuk memilih. Ketiga, golput politis yaitu mereka yang tidak memilih atas dasar secara politis ataupun ideologis tertentu.

Dengan tingkat golput yang cukup tinggi ini, MUI pun memberikan sebuah fatwa haram terhadap Golput. Walaupun Golput yang di rekomendasikan MUI bukan merupakan fatwa haram yang mengikat. Jadi sejauh masih ada calon pemimpin yang yang memenuhi syarat-syarat menjadi pemimpin, maka haram hukumnya untuk golput (selengkapnya klik di sini).  

Lalu efek yang terjadi bila banyak yang Golput bagaimana? Wow, tentu saja segala kebijakan pemerintah tidak didukung oleh sebagaian besar masyarakat. Lalu? Kemungkinan besar akan cukup kacau suasananya dan berimbas pada ekonomi, sosial, dan politik. Wallahualam. 

Pemimpin Ideal : Meneladani Sifat Rasulullah SAW 

Melihat fenomena di atas yang cukup ‘panas’, mari sejenak mendinginkan diri dengan melihat sifat-sifat suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW. Sikap dan perilakunya sebagai pemimpin umat Islam patut untuk kita teladani bersama

Shiddiq. Diartikan bahwa beliau memiliki karakter benar dan jujur, baik dalam setiap pembicaraan dan perilaku. Karakter ini sangat penting bagi seorang pemimpin. Bila pemimpin tidak jujur dan selalu memakan hasil keringat masyarakat tentu saja sudah tidak masuk dalam kategori ‘pilihan’.

Tabligh. Artinya menyampaikan, bahwa seorang pemimpin harus bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Pemimpin harus mampu menyampaikan berbagai macam kebenaran-kebenaran tentu saja segala kebijakan pemerintahan harus sesuai dengan syariat Islam (Quran dan Hadist).

Amanah. Yaitu dapat dipercaya, bahwa segala tindak tanduk seorang pemimpin harus dapat dipercaya. Segala yang sudah menjadi pekerjaannya akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, begitulah pemimpin. 

Fatonah. Berarti cerdas, dalam artian pemimpin harus cerdas dan pintar mengambil kebijakan. Tentu saja kebijakan yang akan bermanfaat untuk masyarakat luas. Bisa juga lihat cerdas mengambil peluang yang sekiranya dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat.

Sungguh luar biasa sikap kepemimpinan Rasulullah tersebut. Kemudian lihatlah calon – calon yang masuk dalam bursa pemilu atau pileg mendatang, apakah kemudian ada yang sekiranya memiliki karakter seperti Rasulullah?. Walaupun kemudian tidak akan sama persis tetapi menyerupai minimal meneladani, marilah dan wajib kita pilih! 

Akan tetapi bila belum ada yang hampir menyerupai sifat-sifat baginda Rasullulluah trus gimana? Wallahu’alam. 

-berfikir-

My Hijab Transformation


Tidaklah hijrah terputus, hingga taubat terputus dan tidaklah taubat terputus, hingga matahari terbit dari barat (HR. Abu Dawud)

Dalam kehidupan tak pernah lepas dari 3 alur yaitu, masa lalu, masa kini, dan masa depan. Banyak orang menganalogikan masa lalu sebagai pelajaran, masa kini sebagai harapan, dan masa depan sebagai tujuan. Tak salah memang, karena begitulah hidup bahwa ‘hari ini harus lebih baik dari hari kemarin’. 

Setiap manusia pasti memiliki masa lalu, begitu juga dengan saya. Banyak masa lalu baik itu yang suka maupun yang duka semua menjadi memori yang kadang menyenangkan kadang memalukan. Begitu juga dengan perjalanan spiritualku yang tak pernah lepas dari tanjakan dan turunan, meliuk-liuk naik bukit turun bukit. Hehe.    

Sejak lahir memang saya sudah berada dalam keluarga Islam, tapi mungkin masih Islam secara umum. Dalam keluarga kami waktu itu, penggunaan krudung masih sangat jarang dan memakai krudung hanya ketika ada pengajian saja. Begitu juga denganku, masa kecil hingga lulus SMP aku jarang sekali menggunakan krudung untuk menutup aurat. Namun ketika SMA, saya sudah mulai menggunakan krudung tetapi hanya sebatas di sekolah saja. Dikarenakan waktu itu saya bersekolah di Madrasah yang mewajibkan siswanya untuk berseragam muslim.

Proses berhijabku, perlu waktu bertahun-tahun (sekitar 5 tahunan)
Sebuah Proses...

Perintah berjilbab memang sudah diturunkan sejak jaman Nabi Muhammad, sekitar 1500 tahun yang lalu. Tapi memang proses ‘penjilbaban’ kaum muslimah tidak serta merta terjadi sesuai dengan perintah Allah. Sudah ada ketentuan bahwa pakaian wanita muslim adalah tertutup dari ujung rambut hingga ujung kaki, longgar, dan tidak menerawang. Tetapi kenapa masih banyak muslimah yang tidak menjalankannya? *saya juga, kala itu*

Padahal memang tak kurang-kurang, ustad sejak saya TPA hingga ustad - ustad di awal Liqo saya ketika SMA mengajarkan bagaimana kewajiban seorang muslimah tersebut. Tetapi memang anjuran dan saran itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, hilang begitu saja. Saya tahu, tapi ya trus kenapa? Banyak kok muslimah yang tidak berkerudung, yang penting perilakunya baik. *pikiranku jaman dulu*

Butuh poses yang panjang pada diri saya untuk dapat memahami dan menyadari pentingnya berhijab. Ketika lulus dari Madrasah, saya lanjutkan kuliah di Universitas Islam Indonesia. Otomatis teman-teman kuliah saya semuanya berhijab. Tetapi ada yang aneh pada mereka, rata-rata semua menggunakan baju ketat dan krudung yang tipis menerawang. Bila mereka duduk maka keliatan lah belahan pantat (maaf) yang biasa kami sebut dengan celengan.

Saya yang masih sangat miskin ilmu ini, juga berpenampilan tidak jauh berbeda dengan teman-teman kampus. Jika kuliah berkerudung, dan jika bepergian dan main krudung dilepas. Hal itu sudah menjadi kebiasaan di antara teman-teman saya dahulu.

Sebuah badai besar terjadi ketika tahun 2009 dan berlanjut di 2010 awal. Buat saya banyak banyak berfikir tentang bagaimana bersikap. Tentang bagaimana saya menghargai diri saya sendiri. Jujur saja, saya mulai malu berjalan jika orang-orang memperhatikan kaki saya. Saya mulai malu ketika orang-orang memperhatikan rambut saya, bahkan ada beberapa yang memanggil “ceweek”, huuhh saya merasa sangat direndahkan jika dipanggil seperti itu.

Mulailah tahun 2010 awal, saya membeli 2 gamis sebagai salah satu titik awal transformasi. Mulai men-double kan krudung agar tidak terawang. Ketika mulai bertransformasi sebenarnya banyak juga yang bertanya. “Loh Pop, sekarang kok berubah? Kamu ikut aliran apa?”. Ahh tak pernah kupikirkan lagi kata-kata orang itu, entah aku ini aliran apa. Yang pasti saya ingin lebih baik dari yang sebelumnya.

Perintah Berhijab

Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri – isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang muknin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu seupaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al Ahzab:59)

Dalam surat ini jelas disebutkan bahwa menggunakan hijab adalah perintah dari Allah dan sifatnya wajib bagi muslimah di seluruh dunia. Di ayat tersebut disebutkan dengan jelas tentang kewajiban berhijab. Syariat ini dijalankan tentu saja agar harkat dan martabat wanita dapat dujunjung tinggi. Wanita dihormati dan tidak menjadi sorotan mata yang memandang. 

Lalu sebenarnya apa sih maksud Hijab? Gampangnya hijab adalah pembatas, dalam konteks ini adalah sebagai tatacara berpakaian wanita muslimah yang sesuai dengan ajaran Islam. Lalu seperti apa bentuknya?

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.....(QS. An Nur:31)

Lebih detailnya hijab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, bentuknya lebar, tidak menerawang, krudung menjulur menutup dada dan hanya menampakkan tubuh yang biasa nampak (muka dan telapak tangan). Dalam hal ini, kaki juga merupakan aurat yang harus ditutupi, maka banyak digunakan kaos kaki.

Ada beberapa keutamaan berhijab dalam syariat ini:

Satu. Hijab merupakan tanda ketaatan seorang muslimah terhadap Allah dan Rasul-Nya (QS An Nur : 31)

Dua. Diperintahkannya berhijab untuk menjaga diri (iffah) dari perbuatan maksiat (QS. Al Ahzab : 59)

Tiga. Hijab tanda kesucian (QS. Al Ahzab : 53)

Empat. Hijab adalah pelindung (QS. Al Ahzab : 59)

Lima. Hijab menunjukkan keimanan

Enam. Hijab menunjukkan rasa malu (Malu sebagian dari iman - Hadist)

Tujuh. Hijab adalah Ghirah 

Saya Sudah, Anda kapan? 

Dalam menjalankan perintah Allah tentang berhijab ini tidak serta merta berjalan dengan mulus. Banyak kerikil tajam yang menghadang saya di sepanjang jalan. Hinaan, sindiran, cibiran, dan tuduhan tentang pencitraan ataupun berbagai kata-kata yang tidak enak telah saya alami sejak saya bertransformasi.

Alhamdulilah, kini saya dapat memetik buah dan hikmah dari hijab ini. Sungguh tak ada maksud lain dalam berhijab ini selain ingin taat, taubat, dan menjaga diri.

Wallahu’alam Bishowab. Semoga bermanfaat kisah saya ini. MARI BERHIJAB!