Buscar

KOMODIFIKASI DANGDUT KONTEMPORER



Musik merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari manusia, bahkan musik juga menjadi salah satu alat komunikasi yang banyak berkembang di masyarakat. Perkembangan musik juga tak pernah lepas dari perkembangan peradaban manusia, terutama musik menjadi salah satu jalan masuknya budaya populer.  Di Indonesia sendiri, salah satu musik yang dianggap sebagai musik asli adalah Dangdut yang merupakan musik gabungan antara musik rock, Melayu dan juga musik India. Walaupun dianggap sebagai mkusik asli Indonesia, Dangdut tak pernah lepas dari pro kontra. Ada yang mengatakan dangdut adalah musik kampungan ada pula yang menyatakan dangdut sebagai musik yang orisinil dan berciri khas. 

            Perkembangan musik Dangdut sendiri berakar dari musik Melayu dan berkembang pada tahun 1940-an. Seiring dengan perkembangan Politik dan Budaya Bangsa Indonesia Musik Melayu juga ikut berkembang seiring dengan perkembangan Jaman, Irama melayu menjadi suatu aliran musik kontemporer, yaitu suatu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Awal tahun 1980 an Musik dangdut berinteraksi dengan aliran seni musik lainnya, yaitu dengan masuknya aliran Musik Pop, Rock  dan Disco atau House Musik 

Pada jaman 1990 mulailah era baru lagi yaitu Musik Dangdut yang banyak dipengaruhi musik Tradisional yaitu Irama Gamelan yaitu Kesenian Musik asli budaya jawa maka pada masa ini Musik Dangdut mulai berasimilasi dengan Seni Gamelan, dan terbentuklah suatu aliran musik baru yaitu Musik Dangdut Campursari. Pada era tahun 2000an seiring dengan kejenuhan Musik Dangdut yang original maka diawal era ini para musisi di wilayah Jawa Timur di daerah pesisir Pantura mulai mengembangkan jenis Musik Dangdut baru yaitu seni Musik Dangdut Koplo.

Dangdut dan Budaya Populer
Pada masa 200an selain percampuran musik dangdut dengan musik di luar dangdut yang semakin menjamur, menjamur pula media-media yang secara khusus hanya menyajikan dangdut sebagai konten medianya. Tengok saja TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) yang kini berubah menjadi MNC (Media Nusantara Citra) mengangkat dangdut secara khusus dalam setiap tayangannya. Bahkan acara-acara dibuat sekreatif mungkin untuk manyajikan dangdut seperti: KDI Star, Tarung Dangdut, Dangdut Mania, dll. 

Pada awal penyiarannya, MNC tv berniat untuk meningkatkan citra dangdut yang terpuruk, ditinggalkan masyarakat dan dianggap sebagai musik kampungan. Kemunculan KDI pertama kali, benar-benar dimaksudkan untuk menyaring penyanyi dangdut yang berkualitas baik dari segi suara maupun penampilan yang sopan namun menarik. Akan tetapi seiring perkembangan dangdut yang semakin beragam, dandut yang on air di televisi menjadi tidak jauh berbeda dengan dangdut yang ada di pertunjukan off air. Hal ini terutama dan segi penampilan dan goyangan yang cenderung dianggap seronok oleh masyarakat. 

Bahkan tak hanya itu saja, dangdut juga memasuki dunia perfilman dengan mengangkat film musikal dangdut yang rata-rata dimainkan oleh Rhoma Irama, maupun anak-anaknya. Dangdut memasuki dunia perfilman sejak tahun 70an yang diawali dengan film Oma Irama Penasaran, Gitar Tua Rhoma Irama, Perjuangan dan Doa, dan Rhoma Irama Raja Dangdut. Bahkan belum lama ini, pada tahun 2010 anak dari Rhoma Irama dan disusul dengan film Ridho Irama yang lain yaitu Sajadah Ka’bah. 

Dari hal ini, dangdut dianggap sebagai musik popular, karena banyaknya media yang menyajikan dangdut yang memudahkan akses masyarakat untuk menikmatinya. Dangdut banyak berbaur dengan komersialisasi dangdut sendiri. Selain itu adanya gaya, lagu, dan aransemen yang dibuat terus menerus semakin melanggengkan kiprah dangdut di media massa. Salah satu cirri dari budaya popular sendiri adalah spontanitas yang terkait dengan kevulgaran dan dianggap sebagai selera rendah. Di sini kemunculan selera rendah tak akan pernah lepas dari selra tinggi. Disebutkan oleh Wiliam bahwa masyarakat barat cenderung mengambil jarak antara budaya popular yang dianggap sebagai budaya rendah dan budaya tinggi atau disebut juga dengan budaya ‘pengetahuan tinggi’ (Strinati, 2003:7).  

Dalam memahami ini budaya popular dianggap tidak berharga dikarenakan terlalu banyak yang mengkonsumsi, terlalu banyak akses dan terlalu banyak media massa yang mem-blow up. Penilaian ini tentu saja tak lepas dari kaum-kaum yang menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain. Kaum ini dapat disebut sebagai kaum kelas atas yang merasa bahwa ‘budaya tinggi’ mereka lah yang terbaik, ekskluif, terhormat dan bercita rasa tinggi. Secara tidak langsung menunjukkan bahwa budaya pop tidak dapat masuk dalam kriteria budaya tinggi. Budaya Pop dianggap sebagai hal terpisah dan jauh dari eksklusifitas maupun nilai-nilai seni yang berkualitas. Dalam hal ini budaya pop sering disebut sebagai budaya sampah atau kitsch. 

Konsep yang semacam ini menjadi lebh merujuk kepada hegemoni yang merupakan penguasaan pikiran terhadap sesuatu yang disampaikan oleh Gramsci. Media massa sebagai penyebar budaya pop sendiri menyebarkan hegemoni nya bahwa khalayak diarahkan untuk terus-menerus mengkonsumsi budaya pop yang sudah diproduksi secara missal tersebut. Sedangkan kelas atas juga menggunakan hegemoni sendiri bahwa, khalayak seharusnya tahu bahwa ada budaya yang lebih ber-adab daripada budaya popular yang disajikan media massa.

Di sini terjadi perang hegemoni antara antara kelas atas dan kelas bawah yang berusaha untuk saling meruntuhkan. Kelas atas mencoba men-indoktrinasi sedangkan kelas bawah melakukan pemberontakan atas keadaan tersebut. Belum adanya kesepakatan antara keduanya menyebabkan posisi budaya popular sebagai medan perang antar dua kubu hegemoni tersebut. Dalam hal ini, kelas bawah terus menerus mendengungkan lagu dangdut dan menonton pertunjukkan dangdut di media massa. Sedangkan kelas atas mengkonsumsi lagu-lagu jazz yang yang tidak terekspose oleh media massa.  

Budaya popular atau budaya massa karena disajikan dalam media massa ataupun dikonsumsi secara massive dianggap sebagai budaya rakyat walaupun sebenarnya budaya tersebut bukan berasal dari kalangan rakyat. Kepopuleran suatu budaya sendiri tak pernah lepas dari tangan-tangan kapitalis media yang terus menerus memproduksi budaya secara massal. Dalam hal ini tentu saja pembahasan berkutat menganai Dangdut sebagai musik popular dimana di dalamnya tak lagi hanya sebagai media hiburan akan tetapi lebih masuk dalam suatu strategi pasar yang kemudian berujung pada komersialisasi budaya. Selain itu, budaya dangdut popular juga menawarkan unur-unsur baru dalam setiap penampilannya. Baik itu dari sisi penyanyi, gaya, lagu, aransemen, dan gaya hidup penyanyi itu sendiri.

Komodifikasi Dangdut
            Kehidupan masyarakat yang semakin global menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia yang tanpa batas. Hal ini dibarengi dengan banyaknya penawaran-penawaran gaya hidup atau lifestyle yang mendorong manusia mencukupi kebutuhannya dengan standarisasi materiil. Hal ini pulalah yang mendorong kemunculan sikap-sikap kapitalis dalam diri manusia yang mencoba untuk melakukan ‘kreativitas’nya untuk menciptakan sebuah mesin pengeruk uang.

            Dangdut menjadi salah satu alat pengeruk uang tersebut. Penurunan pamor dangdut yang awalnya dianggap sebagai musik asli Indonesia berubah menjadi musik kampungan ataupun musik ‘ndeso’. Di sinilah tangan-tangan kapitalis melancarkan strategi pasarnya dengan mengkomersialkan dangdut dalam media massa. Media massa mem blow up habis-habisan masalah lagu dangdut yang baru, penampilan artis dangdut, kontroversi penyanyi dangdut, maupun masalah hokum dan masalah rumah tangga si penyanyi dangdut. 

            Hal ini sejalan dengan pemikiran Mc Luhan yang menjelaskan bahwa strategi masifikasi ini menyebabkan penyeragaman konsumsi dan terciptanya consuming society yang merupakan bagian dari kehendak kapital. Consuming society sendiri, penulis mengintepretasikan sebagai suatu masyarakat yang hanya bisa mengkonsumsi apa yang media massa tampilkan. Di sini masyarakat tersebut hanya menjadi khalayak pasif yang tidak memiliki daya kritis untuk menganalisis apa yang ditampilkan media. Khalayak cenderung hanya pasrah dan tidak memiliki daya tawar lebih dalam mengkonsumsi media. Akibatnya adalah pembodohan massal yang terjadi secara masif menerpa khalayak.  

            Kreativitas kapitalis sendiri melihat dangdut adalah lading subur yang cocok dijadikan tempat bercocok tanam baik itu cocok tanam model tumpang sari maupun terasiring. Muncullah sebuah terobosan kapitalis yang penulis namakan sebagai dangdut hibrida. Sebuah bentuk musik dangdut otentik yang kemudian ber-akulturasi dengan dengan ideologi kapitalis. Di sini dangdut hibrida memberikan lebih banyak variasi dan alternative lain dalam mengkonsumsi dangdut. Bahkan dalam perjalanannya, dangdut yang merupakan musik fleksibel dalam digabungkan dengan berbagai musik local maupun musik luar negeri. Sebut saja akulturasi dari dangdut dengan musik local : dangdut campursari, dangdut tarling, dangdut koplo, dangdut keroncong, ataupun calung dangdut. Selain itu, akulturasi dangdut dengan musik luar dapat berbentuk: dangdut remix, disko dangdut, dangdut house mania, rock dangdut, dan juga dangdut hip hop. 

            Perkembangan musik dangdut ternyata tak hanya dari sisi aransemen musiknya saja yang berpadu dengan musik lain. Bahkan dari sisi penampilan (fashion baju) dan juga goyangan punmulai berakulturasi dengan budaya lain. Sebut saja Rhoma Irama dan juga Arafiq yang berpenampilan sangat mirip dengan Elvis Presley yang pada saat itu juga sangat tenar dalam bidang musik. Kemudian ada trio macan yang menggunakan baju lebih mirip artis-artis Hollywood dengan baju yang minim dan ketat, selanjutnya penyanyi dangdut pendatang baru yaitu Ayu Ting Ting bernyanyi dangdut dengan menggunakan fashion penyanyi Korea yang saat ini juga sedang popular. Tak hanya sampai disitu, bermacam gaya juga muncul mulai dari gaya tarian kontemporer hingga tarian yang cenderung lebih mirip atraksi sirkus. Ada Inul Daratista dengan goyang ngebor, Dewi Persik dengan goyang gergaji, Anisa Bahar dengan goyang patah-patah dan masih banyak yang lainnya.

            Implikasi dari berbagai macam varian dangdut tersebut, otentisitas budaya dangdut sendiri menjadi kabur dan terkesan tidak memiliki karakter kuat dalam penyajiannya. Dijelaskan Fiske bahwa
“..dalam masyarakat kapitalis tidak ada apa yang disebut sebagai budaya rakyat yang otentik, yang bisa dipakai untuk menakan -ketidakotentikan- budaya massa, sehingga meratapi hilangnya otentisitas adalah nostalgia romantik yang tak ada gunanya” (Barker dalam Yanti 2008). 

Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Madhab Frankfrut terutama Adorno dkk yang menjelaskan tentang kemunculan industri budaya yang tak pernah lepas dari ekonomi politik dan produksi kebudayaan perusahaan kapitalis. Penjelasan Adorno ini memberikan gambaran bahwa ekonomi politik yang sangat mendominasi dengan adanya komodifikasi budaya ini tidak memberikan ruang sedikitpun bagi kelas-kelas lain untuk mendobrak singgasana kapitalis. Membeksikan suatu pemikiran bahwa yang kaya makin kaya, dan khalayak terkena tipu daya. 

Bahkan pemberontakan terhadap dangdut popular kini mulai gencar juga di media massa. Dengan adanya acara-acara yang menampilkan kembali budaya dangdut akan tetapi bukan untuk ‘berdangdut’ akan tetapi lebih merujuk pada menghina dangdut itu sendiri. Seperti, banyaknya acara televise yang menyajikan parodi tentang dangdut, tetapi malah menghina penyanyinya. 

Walaupun begitu banyak asumsi sedik banyak menyalahkan kaum kapitalis sebagai tangan kreatif pengerung uang, ada pula pandangan lain yang cenderung pro dalam melihat perkembangan budaya dangdut yang variatif. Di sinilah muncul kaum-kaum avant-garde, yang melihat bahwa perkembangan dangdut adalah sebagai kemajuan. Bahwa, terjadi sebuah pembaharuan yang selalu mengikuti perkembangan jaman dan sesuai dengan konteks kemasa-kinian. Kaum avangarde ini cenderung melihat dangdut kontemporer adalah warisan budaya yang harus dipertahankan dengan adanya perkembangan dalam diri dangdut sendiri. Paling tidak, akan selalu ada musik dangdut sampai akhir masa.


Daftar Pustaka
Strinati, Dominic. 1995. An Introduction to the Theories of Popular Culture. Yogyakarta : Gama Media
Yanti, Neneng. Calung Dangdut: Pergulatan Tradisi dan Budaya Pop. Jurnal Seni dan Budaya Panggung Vol.18, No.4, Oktober-Desember 2008

0 komentar:

Posting Komentar