Buscar

KOMODIFIKASI DANGDUT KONTEMPORER



Musik merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari manusia, bahkan musik juga menjadi salah satu alat komunikasi yang banyak berkembang di masyarakat. Perkembangan musik juga tak pernah lepas dari perkembangan peradaban manusia, terutama musik menjadi salah satu jalan masuknya budaya populer.  Di Indonesia sendiri, salah satu musik yang dianggap sebagai musik asli adalah Dangdut yang merupakan musik gabungan antara musik rock, Melayu dan juga musik India. Walaupun dianggap sebagai mkusik asli Indonesia, Dangdut tak pernah lepas dari pro kontra. Ada yang mengatakan dangdut adalah musik kampungan ada pula yang menyatakan dangdut sebagai musik yang orisinil dan berciri khas. 

            Perkembangan musik Dangdut sendiri berakar dari musik Melayu dan berkembang pada tahun 1940-an. Seiring dengan perkembangan Politik dan Budaya Bangsa Indonesia Musik Melayu juga ikut berkembang seiring dengan perkembangan Jaman, Irama melayu menjadi suatu aliran musik kontemporer, yaitu suatu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Awal tahun 1980 an Musik dangdut berinteraksi dengan aliran seni musik lainnya, yaitu dengan masuknya aliran Musik Pop, Rock  dan Disco atau House Musik 

Pada jaman 1990 mulailah era baru lagi yaitu Musik Dangdut yang banyak dipengaruhi musik Tradisional yaitu Irama Gamelan yaitu Kesenian Musik asli budaya jawa maka pada masa ini Musik Dangdut mulai berasimilasi dengan Seni Gamelan, dan terbentuklah suatu aliran musik baru yaitu Musik Dangdut Campursari. Pada era tahun 2000an seiring dengan kejenuhan Musik Dangdut yang original maka diawal era ini para musisi di wilayah Jawa Timur di daerah pesisir Pantura mulai mengembangkan jenis Musik Dangdut baru yaitu seni Musik Dangdut Koplo.

Dangdut dan Budaya Populer
Pada masa 200an selain percampuran musik dangdut dengan musik di luar dangdut yang semakin menjamur, menjamur pula media-media yang secara khusus hanya menyajikan dangdut sebagai konten medianya. Tengok saja TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) yang kini berubah menjadi MNC (Media Nusantara Citra) mengangkat dangdut secara khusus dalam setiap tayangannya. Bahkan acara-acara dibuat sekreatif mungkin untuk manyajikan dangdut seperti: KDI Star, Tarung Dangdut, Dangdut Mania, dll. 

Pada awal penyiarannya, MNC tv berniat untuk meningkatkan citra dangdut yang terpuruk, ditinggalkan masyarakat dan dianggap sebagai musik kampungan. Kemunculan KDI pertama kali, benar-benar dimaksudkan untuk menyaring penyanyi dangdut yang berkualitas baik dari segi suara maupun penampilan yang sopan namun menarik. Akan tetapi seiring perkembangan dangdut yang semakin beragam, dandut yang on air di televisi menjadi tidak jauh berbeda dengan dangdut yang ada di pertunjukan off air. Hal ini terutama dan segi penampilan dan goyangan yang cenderung dianggap seronok oleh masyarakat. 

Bahkan tak hanya itu saja, dangdut juga memasuki dunia perfilman dengan mengangkat film musikal dangdut yang rata-rata dimainkan oleh Rhoma Irama, maupun anak-anaknya. Dangdut memasuki dunia perfilman sejak tahun 70an yang diawali dengan film Oma Irama Penasaran, Gitar Tua Rhoma Irama, Perjuangan dan Doa, dan Rhoma Irama Raja Dangdut. Bahkan belum lama ini, pada tahun 2010 anak dari Rhoma Irama dan disusul dengan film Ridho Irama yang lain yaitu Sajadah Ka’bah. 

Dari hal ini, dangdut dianggap sebagai musik popular, karena banyaknya media yang menyajikan dangdut yang memudahkan akses masyarakat untuk menikmatinya. Dangdut banyak berbaur dengan komersialisasi dangdut sendiri. Selain itu adanya gaya, lagu, dan aransemen yang dibuat terus menerus semakin melanggengkan kiprah dangdut di media massa. Salah satu cirri dari budaya popular sendiri adalah spontanitas yang terkait dengan kevulgaran dan dianggap sebagai selera rendah. Di sini kemunculan selera rendah tak akan pernah lepas dari selra tinggi. Disebutkan oleh Wiliam bahwa masyarakat barat cenderung mengambil jarak antara budaya popular yang dianggap sebagai budaya rendah dan budaya tinggi atau disebut juga dengan budaya ‘pengetahuan tinggi’ (Strinati, 2003:7).  

Dalam memahami ini budaya popular dianggap tidak berharga dikarenakan terlalu banyak yang mengkonsumsi, terlalu banyak akses dan terlalu banyak media massa yang mem-blow up. Penilaian ini tentu saja tak lepas dari kaum-kaum yang menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain. Kaum ini dapat disebut sebagai kaum kelas atas yang merasa bahwa ‘budaya tinggi’ mereka lah yang terbaik, ekskluif, terhormat dan bercita rasa tinggi. Secara tidak langsung menunjukkan bahwa budaya pop tidak dapat masuk dalam kriteria budaya tinggi. Budaya Pop dianggap sebagai hal terpisah dan jauh dari eksklusifitas maupun nilai-nilai seni yang berkualitas. Dalam hal ini budaya pop sering disebut sebagai budaya sampah atau kitsch. 

Konsep yang semacam ini menjadi lebh merujuk kepada hegemoni yang merupakan penguasaan pikiran terhadap sesuatu yang disampaikan oleh Gramsci. Media massa sebagai penyebar budaya pop sendiri menyebarkan hegemoni nya bahwa khalayak diarahkan untuk terus-menerus mengkonsumsi budaya pop yang sudah diproduksi secara missal tersebut. Sedangkan kelas atas juga menggunakan hegemoni sendiri bahwa, khalayak seharusnya tahu bahwa ada budaya yang lebih ber-adab daripada budaya popular yang disajikan media massa.

Di sini terjadi perang hegemoni antara antara kelas atas dan kelas bawah yang berusaha untuk saling meruntuhkan. Kelas atas mencoba men-indoktrinasi sedangkan kelas bawah melakukan pemberontakan atas keadaan tersebut. Belum adanya kesepakatan antara keduanya menyebabkan posisi budaya popular sebagai medan perang antar dua kubu hegemoni tersebut. Dalam hal ini, kelas bawah terus menerus mendengungkan lagu dangdut dan menonton pertunjukkan dangdut di media massa. Sedangkan kelas atas mengkonsumsi lagu-lagu jazz yang yang tidak terekspose oleh media massa.  

Budaya popular atau budaya massa karena disajikan dalam media massa ataupun dikonsumsi secara massive dianggap sebagai budaya rakyat walaupun sebenarnya budaya tersebut bukan berasal dari kalangan rakyat. Kepopuleran suatu budaya sendiri tak pernah lepas dari tangan-tangan kapitalis media yang terus menerus memproduksi budaya secara massal. Dalam hal ini tentu saja pembahasan berkutat menganai Dangdut sebagai musik popular dimana di dalamnya tak lagi hanya sebagai media hiburan akan tetapi lebih masuk dalam suatu strategi pasar yang kemudian berujung pada komersialisasi budaya. Selain itu, budaya dangdut popular juga menawarkan unur-unsur baru dalam setiap penampilannya. Baik itu dari sisi penyanyi, gaya, lagu, aransemen, dan gaya hidup penyanyi itu sendiri.

Komodifikasi Dangdut
            Kehidupan masyarakat yang semakin global menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia yang tanpa batas. Hal ini dibarengi dengan banyaknya penawaran-penawaran gaya hidup atau lifestyle yang mendorong manusia mencukupi kebutuhannya dengan standarisasi materiil. Hal ini pulalah yang mendorong kemunculan sikap-sikap kapitalis dalam diri manusia yang mencoba untuk melakukan ‘kreativitas’nya untuk menciptakan sebuah mesin pengeruk uang.

            Dangdut menjadi salah satu alat pengeruk uang tersebut. Penurunan pamor dangdut yang awalnya dianggap sebagai musik asli Indonesia berubah menjadi musik kampungan ataupun musik ‘ndeso’. Di sinilah tangan-tangan kapitalis melancarkan strategi pasarnya dengan mengkomersialkan dangdut dalam media massa. Media massa mem blow up habis-habisan masalah lagu dangdut yang baru, penampilan artis dangdut, kontroversi penyanyi dangdut, maupun masalah hokum dan masalah rumah tangga si penyanyi dangdut. 

            Hal ini sejalan dengan pemikiran Mc Luhan yang menjelaskan bahwa strategi masifikasi ini menyebabkan penyeragaman konsumsi dan terciptanya consuming society yang merupakan bagian dari kehendak kapital. Consuming society sendiri, penulis mengintepretasikan sebagai suatu masyarakat yang hanya bisa mengkonsumsi apa yang media massa tampilkan. Di sini masyarakat tersebut hanya menjadi khalayak pasif yang tidak memiliki daya kritis untuk menganalisis apa yang ditampilkan media. Khalayak cenderung hanya pasrah dan tidak memiliki daya tawar lebih dalam mengkonsumsi media. Akibatnya adalah pembodohan massal yang terjadi secara masif menerpa khalayak.  

            Kreativitas kapitalis sendiri melihat dangdut adalah lading subur yang cocok dijadikan tempat bercocok tanam baik itu cocok tanam model tumpang sari maupun terasiring. Muncullah sebuah terobosan kapitalis yang penulis namakan sebagai dangdut hibrida. Sebuah bentuk musik dangdut otentik yang kemudian ber-akulturasi dengan dengan ideologi kapitalis. Di sini dangdut hibrida memberikan lebih banyak variasi dan alternative lain dalam mengkonsumsi dangdut. Bahkan dalam perjalanannya, dangdut yang merupakan musik fleksibel dalam digabungkan dengan berbagai musik local maupun musik luar negeri. Sebut saja akulturasi dari dangdut dengan musik local : dangdut campursari, dangdut tarling, dangdut koplo, dangdut keroncong, ataupun calung dangdut. Selain itu, akulturasi dangdut dengan musik luar dapat berbentuk: dangdut remix, disko dangdut, dangdut house mania, rock dangdut, dan juga dangdut hip hop. 

            Perkembangan musik dangdut ternyata tak hanya dari sisi aransemen musiknya saja yang berpadu dengan musik lain. Bahkan dari sisi penampilan (fashion baju) dan juga goyangan punmulai berakulturasi dengan budaya lain. Sebut saja Rhoma Irama dan juga Arafiq yang berpenampilan sangat mirip dengan Elvis Presley yang pada saat itu juga sangat tenar dalam bidang musik. Kemudian ada trio macan yang menggunakan baju lebih mirip artis-artis Hollywood dengan baju yang minim dan ketat, selanjutnya penyanyi dangdut pendatang baru yaitu Ayu Ting Ting bernyanyi dangdut dengan menggunakan fashion penyanyi Korea yang saat ini juga sedang popular. Tak hanya sampai disitu, bermacam gaya juga muncul mulai dari gaya tarian kontemporer hingga tarian yang cenderung lebih mirip atraksi sirkus. Ada Inul Daratista dengan goyang ngebor, Dewi Persik dengan goyang gergaji, Anisa Bahar dengan goyang patah-patah dan masih banyak yang lainnya.

            Implikasi dari berbagai macam varian dangdut tersebut, otentisitas budaya dangdut sendiri menjadi kabur dan terkesan tidak memiliki karakter kuat dalam penyajiannya. Dijelaskan Fiske bahwa
“..dalam masyarakat kapitalis tidak ada apa yang disebut sebagai budaya rakyat yang otentik, yang bisa dipakai untuk menakan -ketidakotentikan- budaya massa, sehingga meratapi hilangnya otentisitas adalah nostalgia romantik yang tak ada gunanya” (Barker dalam Yanti 2008). 

Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Madhab Frankfrut terutama Adorno dkk yang menjelaskan tentang kemunculan industri budaya yang tak pernah lepas dari ekonomi politik dan produksi kebudayaan perusahaan kapitalis. Penjelasan Adorno ini memberikan gambaran bahwa ekonomi politik yang sangat mendominasi dengan adanya komodifikasi budaya ini tidak memberikan ruang sedikitpun bagi kelas-kelas lain untuk mendobrak singgasana kapitalis. Membeksikan suatu pemikiran bahwa yang kaya makin kaya, dan khalayak terkena tipu daya. 

Bahkan pemberontakan terhadap dangdut popular kini mulai gencar juga di media massa. Dengan adanya acara-acara yang menampilkan kembali budaya dangdut akan tetapi bukan untuk ‘berdangdut’ akan tetapi lebih merujuk pada menghina dangdut itu sendiri. Seperti, banyaknya acara televise yang menyajikan parodi tentang dangdut, tetapi malah menghina penyanyinya. 

Walaupun begitu banyak asumsi sedik banyak menyalahkan kaum kapitalis sebagai tangan kreatif pengerung uang, ada pula pandangan lain yang cenderung pro dalam melihat perkembangan budaya dangdut yang variatif. Di sinilah muncul kaum-kaum avant-garde, yang melihat bahwa perkembangan dangdut adalah sebagai kemajuan. Bahwa, terjadi sebuah pembaharuan yang selalu mengikuti perkembangan jaman dan sesuai dengan konteks kemasa-kinian. Kaum avangarde ini cenderung melihat dangdut kontemporer adalah warisan budaya yang harus dipertahankan dengan adanya perkembangan dalam diri dangdut sendiri. Paling tidak, akan selalu ada musik dangdut sampai akhir masa.


Daftar Pustaka
Strinati, Dominic. 1995. An Introduction to the Theories of Popular Culture. Yogyakarta : Gama Media
Yanti, Neneng. Calung Dangdut: Pergulatan Tradisi dan Budaya Pop. Jurnal Seni dan Budaya Panggung Vol.18, No.4, Oktober-Desember 2008

Minimnya ‘Injeksi’ Pendidikan dalam Media



Setelah heboh tayangan berbau kekerasan smackdown, ternyata saat ini media anak mulai lagi diracuni tayangan bergenre kekerasan versi Ton and Jerry ataupun tayangan bernuansa religi ‘ajaib’ versi Si Eneng. Beberapa tayangan anak ini seperti dua sisi mata uang, dimana di satu sisi sebagai hiburan tetapi satu sisi melemahkan nilai moralitas anak bangsa yang notabene generasi penerus kemerdekaan. Untuk itu pendidikan yang mengatasnamakan moralitas menjadi hal yang perlu direalisasikan.

Pendidikan sebagai suatu alat pembentuk moral dan adab manusia. Karena itu manusia yang tidak berpendidikan dikatakan sebagai manusia biadab. Pendidikan terjadi dalam tiga sektor yaitu keluarga, masyarakat (lingkungan), dan tenpat pendidikan (sekolah). Dalam keluarga tentu saja orang tua yang berperan aktif dalam mendidik anak-anaknya. Pendidikan dalam keluarga meliputi saling menghormati dan saling menyayangi. Dalam lingkungan masyarakat, pergaulan menjadi suatu bentuk pendidikan dalam diri. Pendidikan masyarakat meliputi adat istiadat dan sopan santun. Dan sektor terakhir adalah sekolah, dimana guru menjadi ‘orang tua baru’. Pendidikan sekolah meliputi ilmu-ilmu yang berkembang dari masa ke masa.

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, begitulah bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945. Pendidikan merupakanhak setiap manusia, baik muda ataupun tua, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin. Dengan pendidkan manusia dapat meraih masa depan yang cemerlang seperti apa yang diharapkannya. Dan dengan pendidikan pula manusia dapat meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Seperti kata pepatah , kebodohan (tidak berpendidikan) itu dekat dengan kemiskinan.

Memasuki era globalisasi saat ini, manusia kurang menyadari adanya sektor ke-empat dalam pendidikan. Media ditengarai sebagai sektor ke-empat tersebut. Bagaimana tidak? Media terutama televisi banyak menampilkan tayangan yang bersifat persuasif dan membentuk berbagai hal tabu menjadi suatu realitas dalam masyarakat. Kekerasan, pornografi dan berbagai ‘hal miring’ lainnya telah menjadi suatu hal yang dianggap biasa oleh masyarakat.

Dan ironisnya, anak-anaklah yang menjadi korban atas berbagai tayagan di berbagai media. Mengapa? Pada dasarnya anak-anak sangat menyukai hiburan, apalagi televisi yang menyajikan tayangan yang bersifat audio visual. Padahal kita tahu bahwa anak-anak belum dapat menyaring apa yang baik dan buruk. Tingkat imitasi (meniru) serta imajinasi anak sangat tinggi. Apa yang anak-anak tonton akan menjadi suatu panutan dalam dirinya. Dengan imajinasi pula anak-anak akan mempraktikkan berbagai hal negatif tersebut.

Peningkatan kriminalitas anak merupakan salah satu efek dari maraknya tayangan kekerasan berbalut hiburan. Ini menunjukkan adanya ketidakberesan segmentasi anak dengan tayangan orang dewasa. Hendaknya dibedakan dengan benar manakah tayangan anak dan manakah tayangan untuk dewasa. Pembedaan segmentasi ini ini lebih merujuk terhadap jam tayangan antara tersebut. Jam tayang untuk anak-anak adalah dimana waktu anak telah pulang sekolah dan istirahat yaitu waktu senggang di sore hari atau hari libur. Dalam hal ini, orang tua harus lebih ekstra dalam menjaga putra putrinya. Orang tua hendaknya selalu mendampingi anaknya dalam menonton tayangan di berbagai media. Memberikan contoh dan suri tauladan, mengatakan yang baik dan buruk, serta memberitahukan apa yang pantas dan tidak pantas ditonton adalah suatu bentukk kewajiban orang tua kepada anaknya.

Artikel ini pernah dimuat di Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, 1 November 2007

Indonesia VS Malaysia



Beberapa waktu yang lalu bangsa Indonesia sempat terhina dengan penyebutan ‘Indon’ untuk warga Indonesia oleh Malaysia. Seakan akan membalas perlakuan tersebut, kini muncul istilah ‘Malingsia’ untuk menyebut bangsa Malaysia.
Sebutan Indon yang dalam bahasa Malaysia ditafsirkan memiliki nilai negatif  dan bermaksud merendahkan, telah membuat bangsa Indonesia gerah. Bahkan saat ini sebutan Indon telah menjadi hal yang biasa digunakan oleh masyarakat dan berbagai media massa Malaysia untuk menyebut warga Indonesia yang berada di Malaysia.
Malingsia ternyata bukan sekedar plesetan dari kata Malaysia tetapi istilah ini digunakan lebih merujuk pada kegiatan mencuri (maling) yang dilakukan Malaysia. Tak sekedar basa basi, Malaysia benar-benar telah mencuri aset aset budaya Indonesia. Sempat kita dengar dan lihat dalam berbagai tayangan televisi dan blogger Indonesia, lagu Rasa Sayang-Sayange yang notabene lagu daerah Maluku menjadi theme song Pariwisata Malaysia. Tak hanya itu, batik dan wayang pun diklaim oleh Malaysia sebagai khasanah budaya mereka.
Jika kita selidiki lebih jauh tak hanya sekali dua kali Malaysia membuat ‘onar’ terhadap bangsa Indonesia. ‘Keonaran’ yang pernah dibuat oleh Malaysia pertama kali yaitu pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pada saat itu Indonesia menganggap Malaysia sebagai antek kolonialisme yang mendukung penjajahan di muka bumi. Padahal, pada saat itu Indonesia lebih cenderung pada Blok Timur lalu muncullan slogan ganyang Malaysia yang diteriakkan para pelaku politik Indonesia.
Setelah itu, kasus pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di perbatasan Indonesia-Malaysia juga diklaim sebagai milik Malaysia. Ironisnya Indonesia kalah dalam persidangan internasional dalam perebutan kepemilikian pulau tersebut dan saat ini telah sah menjadi milik negeri Jiran tersebut.
Perlakuan kasar warga Malaysia terhadap TKI sampai pemukulan terhadap wasit karate dari Indonesia juga sempat mewarnai kancah percekcokan Indonesia dengan Malaysia. Tak adanya itikad baik dari Malaysia untuk melakukan permohonan maaf secara resmi semakin membuat panas bangsa Indonesia.
Setelah berbagai rentetan perseteruan di atas, apakah kita rela harga diri bangsa Indonesia diinjak-injak terus menerus? Tentu tidak. Berbagai perseteruan di atas menunjukkan dua hal. Pertama, belum adanya inventarisasi aset budaya menjadikan aset budaya itu terombang-ambing tanpa diketahui asal usulnya. Dengan demikian maka  akan memudahkan bangsa lain untuk mengklaim aset budaya Indonesia apalagi Indonesia dan Malaysia saudara serumpun yang mengatasnamakan Melayu.
Kedua, kurangnya ketegasan hukum tentang perlindungan aset budaya secara tidak langsung meningkatkan tindak kriminalitas pencurian budaya. Mengapa? Karena para pencuri budaya tentu aan berfikir bahwa tindakan mencuri ini tidak akan membawa mereka dalam suatu peradilan yang mengikat dan tegas.
Kongkretnya, pemupukan kesadaran dan kecintaan terhadap berbagai aset negara hendaknya menjadi suatu semangat nasionalisme dalam diri kita. Perwujudan satu nusa satu bangsa jangan hanya menjadi lagu wajib saja, tetapi jadikanlah itu, sebagai suatu semangat nasionalisme.

Artikel ini pernah dimuat di Surat Kabar Bernas Jogja, 3 November 2007

Nonton Film Bersama di Pengungsian


JALIN MERAPI (Sleman, 10 Nov 2010). “Iya, nonton film biar padang (cerah) Mbak!” ungkap seorang ibu yang tengah menonton film bersama para pengungsi lainnya di Stadion Maguwoharjo. Kondisi pengungsian yang minim hiburan membuat para pengungsi terlihat antusias untuk menonton film.

Selasa malam (9/11), lebih kurang pukul 20.30-21.30 WIB, pengungsi di Stadion Maguwoharjo mendapatkan hiburan berupa pemutaran film Sangkuriang. Lebih kurang 200-an orang asyik menikmati pemutaran film yang diselenggarakan RRI dan Prodi Ilmu Komunikasi UII ini. Banyak anak yang menari-nari mengikuti irama musik dalam film. Beberapa anak malah sibuk mondar-mandir melewati viewer dan mengganggu teman-temannya yang menonton. Bahkan, ada juga anak yang menonton film sambil bermain di atas tumpukan baju sumbangan pantas pakai yang menggunung di pojok-pojok ruang pengungsian. Sedangkan para orang tua terlihat menikmati film sembari tidur-tiduran di atas tikar.

Lilis Sugiarti, seorang ibu yang ikut menonton bersama bayinya yang baru berusia lebih kurang satu bulan, menyatakan bahwa jarang sekali ada pemutaran film di Stadion Maguwoharjo. “Wah, kalau di rumah ya biasanya nonton TV. Kalau ada kayak gini cukup menghibur lah,” ungkap Lilis. Di tengah obrolan, Lilis juga bercerita tentang kurangnya asupan makanan bayi untuk anaknya. “Ini anak saya bosen je Mbak makan bubur terus. Sekali-kali harus saya ganti dengan sop, saya beli di depan itu,” katanya sambil menunjuk ke arah luar stadion.

Hujan deras yang mengguyur malam itu membuat para pengungsi yang berjalan-jalan di pinggir stadion ikut menonton film. Seorang bapak yang datang terlambat pada akhir film menyatakan rasa kecewanya, “Kok wes rampung tho?”

Setelah beberapa hari berada di pengungsian, tentu saja rasa jenuh muncul, pengungsi membutuhkan berbagai kegiatan untuk mengisi waktu mereka yang terbuang, terutama kegiatan-kegiatan rekreatif. Pemutaran film dengan layar lebar bisa menjadi langkah sederhana untuk menghibur para pengungsi, tentu saja dengan memilih film-film yang edukatif dan aman ditonton semua orang, mulai dari anak hingga dewasa.

Popi Andiyansari

Laporan ini merupakan kerjasama antara Jalin Merapi, Program Peduli Merapi Radio Republik Indonesia, dan Program Studi Ilmu Komunikasi UII

Berita ini juga dapat dilihat di merapicombine.or.id

STOP! Ghibah On TV

Mengudaranya 9 stasiun TV di Indonesia memicu meningkatnya kreativitas pekerja TV untuk terus memproduksi program - program baru dan komersil. Persaingan yang cukup berat ini membuat munculnya berbagai macam acara yang dikemas sedemikian rupa demi meraih penonton sebanyak-banyaknya. Berbagai acara seperti musik, reality show, komedi situasi, berita, olahraga, dan juga acara gossip membanjiri TV di setiap harinya. Salah satu acara yang sangat digemari masyarakat saat ini adalah acara gossip yang ditayangkan tidak hanya sekali dalam satu hari. Akan tetapi sejak kita bangun tidur hingga larut malam acara gossip masih saja ditayangkan di televisi. Hal ini memberikan sebuah kesan bahwa, acara gosiplah yang paling laku dijual dan masyarakat menjadikan acara gossip sebagai sebuah hiburan.

Laris Bak Kacang Goreng
            “Eh, tau gak sih. Artis yang itu loh matre, yang itu kayak banci, yang itu lagi sok cantik”. Astagfirullah, mungkin anda pernah mendengar beberapa ungkapan orang mengenai pergunjingan artis maupun selebritis di televisi. Banyak presenter yang membawakan acara infotainment juga sering melontarkan komentar pedas maupun melontarkan pernyataan kontroversial mengenai artis dan selebritis di tanah air. Hal ini memang sudah tak ayal lagi, mengingat berita - berita yang disajikan dalam acara infotainment memang lebih banyak terkait keburukan dan aib selebritis.

            Infotainment ini bermula sejak kemunculannya pertama kali di salah satu TV swasta nasional Indonesia pada tahun 1994. Kala itu, salah satu acuan untuk menyiarkan infotainment kepada masyarakat adalah sebagai sebuah bentuk kebebasan berpendapat. Akan tetapi infotainment saat ini mendominasi televisi kita dengan tidak kurang 15-an acara setiap harinya. Ironisnya, infotainment seakan menjadi ‘tontonan wajib' bagi sebagian orang. Mereka selalu merasa kurang jika belum melihat tayangan infotainment dan melihat perkembangan artis pujaannya.

            Dalam pemberitaan mengenai individu secara pribadi akan lebih baik bila mengungkap sisi positif si artis / selebritis. Dengan demikian diharapkan akan memberikan motivasi positif pula dan juga semangat untuk menuju kebaikan. Akan tetapi trend yang berkembang kini, infotainment lebih menyoroti tentang keburukan selebritis dan artis - artis. Mulai dari gossip sampai pula fitnah sering diluncurkan oleh acara infotainment di TV maupun penontonnya. Berbagai kasus narkoba, perselingkuhan, skandal, perceraian, dijadikan sebagai sebuah hiburan dan menyajikan sesnsasionalitas. Lebih parahnya lagi, hal ini dikemas dalam suatu acara bernama INFOTAINMENT yang merupakan kepanjangan dari information (informasi) dan entertainment (hiburan). Jadi keburukan yang diinformasikan kepada masyarakat mengenai selebritis / artis di televisi  dianggap sebagai sebuah informasi yang menghibur. Naudzubillah.

Islam Memandang Infotainment
            Infotainment yang telah dijabarkan di atas memiliki banyak kemiripan dengan ghibah. Dalam pemahaman secara definisi ghibah sendiri diartikan sebagai bergunjing atau membicarakan sesuatu yang membuat orang yang dibicarakan tidak senang. Hal ini sangat terkait dengan gossip dan juga fitnah yang dilontarkan oleh si pelaku ghibah. Bahkan dalam surat Al Hujuraat : 12, Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagaian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan jangan menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.

            Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa Islam melarang umatnya untuk saling menggunjingkan. Bahkan perbuatan begunjing disetarakan dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati. Ini membuktikan bahwa, bergunjing mengenai sesuatu yang terkait dengan aib dan keburukan seseorang sangat dilarang agama. Apalagi bila yang dipergunjingkan tidak sesuai dengan fakta yang ada, maka akan menjerumuskan manusia kepada fitnah / menuduh yang belum jelas kebenarannya. 
            Dalam hadist Rasullullah juga disebutkan : “Orang muslim itu saudara muslim lainnya, tidak mendzaliminya dan tidak membiarkannya. Dan barangsiapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya pula, dan barang siapa yang meringankan beban kesedihan orang muslim maka Allah akan meringankan beban kesedihannya di hari kiamat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutupinya (aibnya) kelak pada hari kiamat”.

            Begitulah yang akan terjadi pada segenap umat manusia yang menjalankan segala perintah Allah SWT. Selalu ada balasan baik bagi yang berbuat baik, dan akan ada balasan pula bagi setiap keburukan yang diperbuat walaupun itu hanya sebesar biji zarrah. Dari ayat dan juga hadist di atas, tentunya kita dapat menyimpulkan bagaimana hukum infotainment dalam Islam. Entah itu sebagai penonton, pembuat, maupun dari sisi orang yang mendanai acara infotainment, tentunya dapat menilai sendiri bagaimana manfaat dan mudharatnya infotainment di televisi.

            Bahkan seperti dilansir oleh www.antaranews.com pada 27 Juli 2010, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa haram bagi segala bentuk infotainment yang berisi mengumbar aib, kejelekan orang, gossip dan juga hal - hal pribadi orang lain. Dalam hal ini MUI menjabarkannya dalam upaya menggali aib orang, membuat berita, maupun orang yang mengambil keuntungan dari infotainment tersebut juga termasuk dalam kategori haram.

Lalu bagaimana?
            Walaupun secara tegas Al-Quran dan juga Hadist melarang manusia untuk berbuat ghibah, akan tetapi tidak selamanya ghibah itu dilarang. Hal ini tentu saja dengan alasan syar'i dan juga tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan orang lain. Salah satunya adalah sesuai dengan kesepakatan MUI dalam rapat Pleno pada Musyawarah Nasional Juli 2010, acara televisi yang terkait dengan kejelekan orang lain boleh ditayangkan sepanjang itu terkait dengan penegakan hukum. Hal ini dimaksudkan untuk memberantas kemungkaran dengan menyiarkan maupun menonton berita yang berisi aib seseorang.

            Sebagai contoh dalam hal ini, penyiaran tayangan berita di TV mengenai kasus korupsi yang dilakukan oleh salah satu anggota dewan yang bernilai milyaran rupiah lalu kita menonton juga menyimaknya. Hal ini tentu saja diperbolehkan, dikarenakan terkait dengan penegakan dan proses hukum di Indonesia serta sangat terkait dengan kepentingan publik. Akan berbeda jadinya bila yang kita tonton adalah acara gossip mengenai selebritis yang berselingkuh dengan teman istrinya, ataupun perceraian selebritis akibat adanya pihak ketiga. Tentu saja hal tersebut tidak layak ditonton dan juga tidak memberikan suatu pencerahan kepada publik untuk berpikir positif. 

            Mungkin dalam ghibah ada juga yang berkilah, “Oh, ini bukan gossip kok. Ini tuh fakta”. Bagaimana dengan kasus seperti ini? Antara fakta dan mengumbar keburukan orang memang beda tipis. Akan tetapi dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Bukhori, “Dari Ibnu Mas'ud ra. Dari Nabi SAW beliau bersabda : sesungguhnya kebenaran itu membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa ke syurga; dan sesungguhnya orang yang membiasakan dirinya benar (dalam segala tingkah lakunya) akan dicatat oleh Allah sebagai Siddiq (orang yang selalu benar); sedang kedustaan itu membawa kepada penyelewengan dan penyelewengan itu membawa ke neraka, dan orang yang membiasakan berdusta itu akan dicatat oleh Allah sebagai Kadzab (pendusta)”.

            Dalam hadist tersebut menjabarkan perilaku – perilaku yang akan dinilai oleh Allah SWT mengenai kebenaran dan kebaikan. Yang perlu ditekankan dalam hal ini, hendaknya kita menjunjung tinggi kebenaran yang membawa manusia kepada kebaikan yang akan mengangkat manusia ke syurga. Akan tetapi kebenaran seperti apakah yang akan berujung pada kebaikan? Di sinilah yang perlu diperhatikan terkait dengan ghibah di masyarakat. Kebenaran yang akan berujung pada kebaikan adalah kebenaran yang tidak menimbulkan sakit hati maupun ketidaksukaan orang lain terhadap kita. Jadi pembeberan fakta boleh dilakukan selama hal tersebut dapat menimbulkan kebaikan bagi masyarakat dan dalam sebuah upaya penegakan hukum.

            Lalu bagaimana sebaiknya kita bersikap? Dalam salah satu hadist disebutkan bahwa, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau (kalau tidak) hendaklah diam”. Hadist tersebut memberikan sebuah acuan bahwa setiap manusia lebih baik diam saja, daripada banyak bicara akan tetapi pembicaraannya tidak baik. Dalam konteks infotainment berkata yang tidak baik tentu saja menyiarkan / menayangkan berita - berita yang membuat orang sakit hati dan mengumbar kejelekan serta aib orang lain. Bila tidak dapat menyajikan berita yang baik maka lebih baik infotainment TV dihentikan penyiarannya. Lalu masihkah anda menonton acara infotainment? Pindah channel yuk! Stop ghibah on TV :)

Wallahu'alam Bishowab…

Dapat dibaca juga di http://himmpas.pasca.ugm.ac.id/print-articles/2012/10/stop-ghibah-on-tv.html