Buscar

Minimnya ‘Injeksi’ Pendidikan dalam Media



Setelah heboh tayangan berbau kekerasan smackdown, ternyata saat ini media anak mulai lagi diracuni tayangan bergenre kekerasan versi Ton and Jerry ataupun tayangan bernuansa religi ‘ajaib’ versi Si Eneng. Beberapa tayangan anak ini seperti dua sisi mata uang, dimana di satu sisi sebagai hiburan tetapi satu sisi melemahkan nilai moralitas anak bangsa yang notabene generasi penerus kemerdekaan. Untuk itu pendidikan yang mengatasnamakan moralitas menjadi hal yang perlu direalisasikan.

Pendidikan sebagai suatu alat pembentuk moral dan adab manusia. Karena itu manusia yang tidak berpendidikan dikatakan sebagai manusia biadab. Pendidikan terjadi dalam tiga sektor yaitu keluarga, masyarakat (lingkungan), dan tenpat pendidikan (sekolah). Dalam keluarga tentu saja orang tua yang berperan aktif dalam mendidik anak-anaknya. Pendidikan dalam keluarga meliputi saling menghormati dan saling menyayangi. Dalam lingkungan masyarakat, pergaulan menjadi suatu bentuk pendidikan dalam diri. Pendidikan masyarakat meliputi adat istiadat dan sopan santun. Dan sektor terakhir adalah sekolah, dimana guru menjadi ‘orang tua baru’. Pendidikan sekolah meliputi ilmu-ilmu yang berkembang dari masa ke masa.

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, begitulah bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945. Pendidikan merupakanhak setiap manusia, baik muda ataupun tua, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin. Dengan pendidkan manusia dapat meraih masa depan yang cemerlang seperti apa yang diharapkannya. Dan dengan pendidikan pula manusia dapat meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Seperti kata pepatah , kebodohan (tidak berpendidikan) itu dekat dengan kemiskinan.

Memasuki era globalisasi saat ini, manusia kurang menyadari adanya sektor ke-empat dalam pendidikan. Media ditengarai sebagai sektor ke-empat tersebut. Bagaimana tidak? Media terutama televisi banyak menampilkan tayangan yang bersifat persuasif dan membentuk berbagai hal tabu menjadi suatu realitas dalam masyarakat. Kekerasan, pornografi dan berbagai ‘hal miring’ lainnya telah menjadi suatu hal yang dianggap biasa oleh masyarakat.

Dan ironisnya, anak-anaklah yang menjadi korban atas berbagai tayagan di berbagai media. Mengapa? Pada dasarnya anak-anak sangat menyukai hiburan, apalagi televisi yang menyajikan tayangan yang bersifat audio visual. Padahal kita tahu bahwa anak-anak belum dapat menyaring apa yang baik dan buruk. Tingkat imitasi (meniru) serta imajinasi anak sangat tinggi. Apa yang anak-anak tonton akan menjadi suatu panutan dalam dirinya. Dengan imajinasi pula anak-anak akan mempraktikkan berbagai hal negatif tersebut.

Peningkatan kriminalitas anak merupakan salah satu efek dari maraknya tayangan kekerasan berbalut hiburan. Ini menunjukkan adanya ketidakberesan segmentasi anak dengan tayangan orang dewasa. Hendaknya dibedakan dengan benar manakah tayangan anak dan manakah tayangan untuk dewasa. Pembedaan segmentasi ini ini lebih merujuk terhadap jam tayangan antara tersebut. Jam tayang untuk anak-anak adalah dimana waktu anak telah pulang sekolah dan istirahat yaitu waktu senggang di sore hari atau hari libur. Dalam hal ini, orang tua harus lebih ekstra dalam menjaga putra putrinya. Orang tua hendaknya selalu mendampingi anaknya dalam menonton tayangan di berbagai media. Memberikan contoh dan suri tauladan, mengatakan yang baik dan buruk, serta memberitahukan apa yang pantas dan tidak pantas ditonton adalah suatu bentukk kewajiban orang tua kepada anaknya.

Artikel ini pernah dimuat di Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, 1 November 2007

0 komentar:

Posting Komentar