Buscar

Pendidikan dan Pengasuhan Anak



Ini Mulhan, punya kembaran namanya Sulthon
Masih ingatkah kita tentang 3 ciri orang munafik? Yang pertama, berkata dusta. Kedua, jika berjanji mengingkari. Dan ketiga, jika dipercaya, berkhianat.

Di poin ketiga terdapat kata “jika dipercaya, berkhianat”, hal ini merujuk pada salah satu sifat yang harus dimiliki oleh umat Islam yaitu amanah. Seorang yang tidak amanah dapat disebut pula sebagai orang munafik.      Anak merupakah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Amanah ini berarti anak tersebut adalah titipan, agar dijaga, agar diberikan pendidikan dan agar diasuh dalam kasih sayang. 

Masih ingatkah kita tentang 3 pahala yang terus mengalir walau kita sudah meninggal? Yang pertama, amal jariyah. Kedua, ilmu yang bermanfaat. Ketiga, doa anak yang sholeh.

Lagi, di poin ketiga terdapat kalimat ‘doa anak yang sholeh’. Doa anak yang sholeh ini akan terus mengalir dan mengisi pundi-pundi pahala untuk orang tuanya walaupun mereka sudah meninggal. Ini berarti anak yang sholeh adalah investasi masa depan untuk orang tuanya di akherat kelak.

Ilmu dan Amanah

Ini Izzy
Dalam pendidikan dan pengasuhan anak, orang tua, guru maupun ustadzah haruslah memiliki ilmu. Ilmu ini wajib dimiliki agar pembentukan karakter dan pola asuh kepada anak sesuai dengan umur dan cara penangangannya. Dalam HR. Tirmidzi disebutkan bahwa ilmu adalah kunci kesuksesan. Ini menunjukkan untuk menuju sukses mendidik anak, diperlukan sebuah ilmu. Tidak mungkin anak akan mampu membaca jika orang tua tidak mengajarinya ilmu membaca, tidak mungkin anak mampu berhitung jika guru tidak memberitahu ilmu berhitung, tidak mungkin seorang anak mampu membaca Al Quran bila ustad/ustadzah tidak mengajari ilmu membaca Al Quran. Dalam ilmu-ilmu yang disampaikan tersebut dapat diambil hikmah dan pelajaran (QS. Al Baqoroh : 269). 

Pentingnya memiliki ilmu ini juga agar manusia tidak taklid, yaitu serta merta mengikuti sesuatu yang belum jelas aturannya. Larangan taklid ini dapat dilihat pada surat Al Isra ayat 36 : ”Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggung jawaban”. 

Subhanallah, sungguh detil sekali aturan Allah ini. Jadi untuk dapat mendidik anak wajib sekali kita memiliki ilmu. Tetapi perlu diingat bahwa memiliki ilmu yang banyak jangan digunakan untuk menyesatkan orang lain, dan jangan sampai melampaui batas. “.. Siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap orang-orang anpa pengetahuan..” QS Al An’am : 144. Naudzubillah, semoga kita dijauhkan dengan sifat tercela tersebut.

Kembali lagi kepada konsep amanah dalam mendidik dan mengasuh anak. Amanah dalam mendidik anak ini wajib dilakukan, karena dengan amanah akan diminta pertanggung jawabannya (HR. Bukhari). Saya jadi teringat berita di televisi beberapa hari lalu tentang pembuangan bayi di selokan, yang kemungkinan besar dibuang oleh orang tua kandungnya sendiri, naudzubillah. Padahal dalam Hadist Shohih Abu Dawud sebagai orang tua yang diberikan amanah, kita tidak boleh menyia-nyiakan anak tersebut. Dan sebagai gantinya bila kita memelihara amanah dengan baik, maka surga lah yang akan menjadi tempat tinggal kita di akherat kelak. 

Dan orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya, Dan orang-orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya, Dan orang-orang yang memelihara shalatnya, Mereka itu dimuliakan dalam surga” (QS. Al Ma’arij : 32-35).

Proses Mendidik Anak

Ini Bintang
Pertama, melalaui keteladanan (qudwah, uswah). Keteladanan ini sangat penting, yaitu dengan cara memberikan contoh kepada anak untuk berbuat baik. Seperti misalnya, seorang ibu yang menyuruh-nyuruh anak untuk segera sholat padahal dia sendiri belum sholat. Tentu saja, si anak tak akan mau untuk mengerjakan sholat. Atau pelarangan anak merokok oleh guru di sekolah, tidak akan mempan bila bapak-bapak guru dengan santainya merokok di taman sekolahan. Ketedeladanan ini menjadi penting, agar anak-anak tanpa perlu diceramahi sudah terbiasa untuk melakukan atau tidak melalukan sesuatu. Lalukan yang baik-baik dulu, agar anak-anak menirunya.

Kedua, melalui pengajaran (ta’lim). Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa ilmu sangat diperlukan bagi setiap orang agar tidak taklid dan dapat mengambil hikmah serta pengajaran darinya. Anak-anak perlu diajari tentang akhlaq yang baik, berperilaku yang sopan dan juga berbagai ilmu lainnya. Karena saya sebagi ustadzah di TPA maka salah satu cara mengajari anak misalnya membaca Al Quran dengan mengajarkan hukum bacaan Quran seperti : idhar, idghom, iqlab, ataupun ikhfa’ dll.

Ketiga, pembiasaan (ta’wid). Ini penting sekali untuk anak, seperti yang saya lakukan di TPA saya. Dalam kegiatan TPA tidak hanya melulu mengaji saja, tetapi anak-anak juga saya berikan tanggung jawab misalnya menjalankan tugas piket. Dalam TPA saya membuat semacam jadwal piket agar anak-anak terbiasa untuk hidup bersih dan mencintai kebersihan. Seperti salah satu hadist yang selalu diajarkan di TPA kami, ‘Anadzofatu minal iman’, kebersihan itu sebagian dari iman.

Keempat, pemberian motivasi (targhib). Anak - anak harus dimotivasi agar mereka dapat terus berkembang dengan baik, salah satunya adalah dengan memberikan pujian ataupun hadiah. Motivasi ini sangat penting untuk menjaga mental anak agar selalu stabil. Saya jadi teringat, betapa sedihnya anak didik saya ketika dia tidak bisa mengerjakan soal yang saya berikan. Akhirnya saya janjikan padanya untuk memberikan hadiah di lain hari, dengan syarat dia harus belajar. Anak tersebu menjadi cerah air mukanya dan kembali bersemangat.

Kelima, pemberian sanksi hukuman (tarhib). Ini juga penting sekali untuk anak-anak. Kembali saya memberi contoh tentang keadaan TPA saya. Di TPA anak-anak sering mengejek satu sama lain, bahkan terkadang mengejek ustadzah yang mengajar. Pernah suatu ketia anak-anak memanggil saya ‘Mbak popi, cantik, cantik, cantik’. Saya pribadi sih enggak akan ge-er dengan panggilan seperti itu, karena artinya cantik = cacar bintik-bintik. Karena waktu itu saya sedang berjerawat T.T. Jadi memang ada peraturan tertulis di papan bahwa siapa yang melanggar aturan akan mendapatkan hukuman dari ustadzah. Biasanya sih saya hukum untuk menghafalkan surat atau hadist. 

Investasi Masa depan

Rasulullah pernah bersabda bahwa Allah merahmati seorang yang membentu anaknya berbakti kepada-Nya. Dengan cara apa? 1) menerima yang sedikit darinya, 2) memaafkan yang menyulitkannya, 3) tidak membebaninya, 4) tidak memakinya. 

Karena anak adalah investasi masa depan, maka kita sebagai seorang pendidik anak (orang tua, guru, ustadzah) wajib menjaga anak agar selalu dalam ketaatan kepada Allah. Semoga kita semua diberikan amanah buah hati yang menentramkan, menyenangkan, dan terus menerus membuat kita sekalian selalu dalam Iman Islam. 

Wallahu’alam Bishowab. Semoga bermanfaat untuk pembaca sekalian dari saya yang masih miskin ilmu ini. :)





             

Sentilan Kecil Itu (Gempa)



"Allahu Akbar... Allahu Akbar...Allahu Akbar"
"Gempaa...Gempaa...Gempaa..."


Aku menjerit semampuku, harapannya agar ayah dan ibu mendengar teriakanku. Aku tahu ayah sedang memanjat tower antena setinggi 3 meter di lantai 2 rumahku, dan ibu sedang mandi plus mengucurkan keran dengan deras. Aku khawatir ayah ibu tak tahu jika terjadi gempa.
 
Aku hanya berlari keluar, walau memang tak sampai jalan depan rumah karena aku sadar aku tak mengenakan krudung sama sekali. Karena gempa yang cukup besar dan mendadak, buatku tak sempat menyambar krudung di kamarku. Untung saja, ada tembok pagar rumah yang cukup tinggi, hingga tetangga yang berlarian tak sempat melihatku. 

Ayah berlari menuruni tangga sambil berseru ‘eh tivi-tivi dimatiin!’, beliau malah lari ke ruang tengah mematikan tivi. Mungkin beliau khawatir gempa akan membuat konsleting listrik dan memicu bahaya yang lebih besar. Logis sekali, pikiran tanggap darurat beliau. Sedangkan ibuku tergopoh-gopoh dari kamar mandi menuju luar rumah.

Gempa yang hanya setengah menit hari ini cukup membuat kami semua menjadi gugup dan bingung tak karuan. Masyaallah, yang kuingat adalah kejadian tahun 2006 lalu. Ketika itu aku masih SMA, pagi-pagi jam 6 pagi aku terbangun karena gempa besar melanda Jogja. Kalau saja aku telat sedikit saja berlari keluar rumah, mungkin batu bata dan batako tembok rumah sudah menubrukku. Alhamdulilah masih diberi keselamatan, walaupun akhirnya aku pingsan kala itu dan semakin membuat orang-orang semakin panik. Ya, kami akhirnya tinggal di tenda darurat kala itu selama lebih dari 1 minggu. Sodaraku, si fajar masuk rumah sakit karena kepalanya tertimpa tembok dan darah mengucur di seluruh muka dan wajahnya. Astagfirullah, jika mengingat itu semua aku jadi teringat gempa yang terjadi barusan. 

Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah... Ya Allah berilah keselamatan untukku dan keluargaku, juga negeri ini. Kuatkanlah iman kami, agar senantiasa mengingat-Mu dan kembali dalam keadaan khusnul khotimah.

Sentilan Kecil

Mungkin gempa yang terjadi barusan hanya 0.0000001 dari kekuatan Allah yang Maha Dahsyat atau mungkin lebih kecil lagi. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika Allah telah mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan bumi yang semakin rusak fisik dan kebobrokan moral yang merajalela ini. Wallahu’alam pasti aku tak kan sanggup menahan pedihnya hari itu, hari kiamat.

Terlintas di pikiranku tentang Kalamullah di Surat Al Zalzalah:

Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat). Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya. Dan manusia bertanya : “Mengapa bumi (menjadi begini)?”. Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya juga.

Apakah kita akan sanggup dan siap menghadapi hari digoncangnya bumi itu? Masyaallah, apakah sholat kita sudah tepat waktu, apakah bacaan Al Quran kita sudah ikhlas, apkah kita sudah bersedekah dan beramal sholeh? Masyaallah, hal ini terngiang-ngiang dalam pikiran.  Semua yang telah kita lakukan akan mendapat balasan, entah itu kebaikan ataupun keburukan. Allah akan selalu adil terhadap segala perilaku kita. 

Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran 190-191)

Aku tahu Ya Allah, sungguh goncangan ini tiadalah sia-sia engkau ciptakan. Semua yang terjadi di dunia ini adalah sebuah pertanda. Pertanda bahwa Engkaulah satu-satunya dzat yang Maha Perkasa, Maha Besar, dan pertanda inilah yang semakin menguatkanku untuk mengimani-Mu. 

Laa Illaha Illallah....





Pertanyaan - Pertanyaan Itu



 ‘Mbak, aku butuh teman. Aku butuh cerita malam ini...’

#HijrahSteps Febrianti Almeera
Sebuah sms dari seorang kawan kampusku, Mbak Sasa (nama disamarkan). Malam itu menjelang sholat Isya’ aku langsung meluncur ke rumah kontrakan Mbak Sasa yang tak jauh dari salah satu Mall besar di Jogjakarta. Jalanan yang ramai dan padat `tak kurasa, hanya Mbak Sasa yang kupikirkan. Mungkin dia sangat membutuhkanku malam ini, dan juga aku pernah berjanji padanya untuk menginap mengerjakan tesis bersama-sama.

Ya, malam itu adalah malam menegangkan untuk Mbak Sasa, karena dia akan ujian pendadaran di hari berikutnya. Malam terasaa sangat mencekam, Mbak Sasa yang biasanya ramai dan senang diskusi berubah drastis menjadi Mbak Sasa yang linglung dan gugup. Aku tahu perasaannya, pasti ada ketakutan besar menghadapi ujian esok hari. Mungkin ketakutan itu sederhana sebenarnya, hanya pertanyaan tetang : apakah lulus atau tidak? Apakah bisa menjawab pertanyaan penguji atau tidak? Apakah bisa menjelaskan dengan baik atau tidak? Bagaimana jika tiba-tiba peralatan presentasi mendadak rusak? 

Ketakutan - ketakutan itu mungkin yang membuat Mbak Sasa semakin grogi menghadapi ujian, padahal beliau sudah menjadi dosen lebih dari 5 tahun. Malam menjelang, akupun ikut tak bisa tidur. Seakan aku juga merasakan apa yang Mba Sasa rasakan, berguling kesana-kesini, merem melek, sampai kepalaku sangat pusing sebenarnya. Mbak Sasa lebih dahsyat lagi, harus terbangun berkali kali karena sangat grogi. Pagi haripun dalam tilawahnya, aku mendengar dia membaca ayat demi ayat dengan bergetar dan parau suaranya. Ahh, hatiku seperti tertusuk-tusuk mendengarnya. Semoga Allah memberimu kekuatan mbak, doaku kala itu.

Sebagai seorang teman aku hanya bisa memberi saran dan doa saja, yah..apalagi. Ku sarankan mbak Sasa untuk membaca doa ‘RobbisRohli Sodri, Wayasirli Amri. Wahlul uqdatammilisani Yahqohu Qouli’, wallahu’alam semoga dimudahkan dalam berkata-kata nanti dalam presentasi. Walaupun memang agak kurang tepat sebenarnya, karena itu adalah doa Nabi Musa yang digunakan untuk memperlancar bicaranya ketika lidah dan mulutnya terbakar obor yang disediakan oleh Firaun. Wallahualam. 

Pertanyaan itu muncul...

Malam itu, kuajak Mbak Sasa mengobrol. Macam-macam obrolannya agar dia santai dan rileks. Mulai dari cerita masa lalu, cerita tentang pertemanan, cerita tentang pendidikan, cerita tentang keluarga dan anak-anak, hingga sampai cerita tentang penampilan.

Jam menunjukkan pukul 20.30 WIB, Mbak Sasa mengajakku makan bakso tak jauh dari kontrakannya. Sebenarnya aku sudah kenyang, tapi tak apa-apa lah yang penting Mbak Sasa bisa tenang dengan pikirannya. Aku buru-buru menyambar kaos kakiku, dan kupakai. Mbak Sasa bertanya, ‘Tiap hari pakai kaos kaki ya? Ihh kalo aku sih gelii... Pake rok juga mbak tiap hari?’. Hanya kujawab sekenanya; ‘Ya mbak, sudah biasa ee hehehe’. Kami makan bakso dengan nikmatnya, sambil melihat mobil motor berlalu lalang di jalanan. 

Mungkin Mbak Sasa masih penasaran denganku, sesampainya di kontrakan dia mulai bertanya lagi. ‘Tau gak sih, sebenarnya dengan penampilanmu seperti ini akan membatasi dirimu dalam bergaul loh. Membatasi orang-orang untuk berteman denganmu’. Hmm, sebuah pertanyaan yang cukup #jleb buatku. Hanya kujawab,”Aku memang sengaja kok mbak, memang sengaja aku membatasi diri hehe”. 

Di hari berikutnya, Mbak Sasa bercerita tentang temannya ketika masih kuliah S1 di Medan. Dia menceritakan tentang teman mengajinya ketika itu yang berpenampilan ala wanita Arab.  Baju gamis panjang, dengan kerudung yang sangat lebar, ditambah pula cadar yang menutupi mukanya dan hanya menyisakan mata yang dapat terlihat. Dari cerita Mbak Sasa, wanita tersebut sejak lulus kuliah telah berubah 180 derajat. Langsung lepas kerudung, mengaku sebagai free sex, dan saat ini mengelola sebuah komunitas lesbian. Astagfirullah, sebenarnya aku cukup kaget dengan cerita ini. Bagaimana mungkin seorang yang ‘terlihat’ agamis tiba-tiba berubah se drastis itu, padahal sejauh cerita Mbak Sasa temannya itu banyak hafal kitab-kitab yang dipelajarinya selama kuliah. Wallahu’alam, bukankah memang Allah bisa saja membolak-balik hati manusia.

Pertanyaan Itu dan Istiqomah

Aku tak akan membahas panjang lebar tentang penampilanku, bagiku sebuah penampilan adalah prinsip dan sebuah komunikasi. Sebuah komunikasi yang tentu saja menjelaskan 5W1H (Who, What, Why, When, Where, How). 

Siapakah (Who) wanita yang menggunakan pakaian taqwa itu? Jawaban : Muslimah, wanita Islam

Apakah (What) pakaian taqwa itu? Jawaban : lihat Surat An-Nur ayat 31 : Dan Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kepadanya. Lihat juga Surat Al-Ahzab ayat 59 : .... Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka....

Mengapa (Why) wanita itu menggunakan pakaian taqwa? Jawaban : Karena pakaian taqwa adalah pakaian yang terbaik, lihat Surat Al A'raf ayat 26

Kapan (When) wanita menggunakan pakaian taqwa? Jawaban : Ketika bertemu dengan non mahram, keluar rumah, dan bepergian.

Dimana (where) pakaian taqwa wanita diperoleh? Jawaban : Ya, toko busana muslimah lah. Masak di toko kaset xixixi

Bagaimana (How) bentuk pakaian taqwa itu? Jawaban : Menutup semua aurat kecuali wajah dan telapak tangan, tidak ketat, tidak transparan, krudung menjulur hingga ke dada. *kurang lebih seperti itu.

Dan yang perlu ditekankan bahwa penampilan ini bukan berarti menunjukkan bahwa pengetahuan agama orang yang memakai pakaian taqwa lebih tinggi dibanding dengan yang tidak berpakaian taqwa. Ini lebih fokus pada wujud ketaatan seorang hamba terhadap pencipta-Nya, Allah Subhanahu Wata’ala. 

Yang menjadi ujung pokok permasalahan adalah, bagaimana sikap seorang muslimah untuk selalu istiqomah. Bagaimana dia bisa mempertahankan diri dengan penampilan yang telah dia percayai akan mendekatkannya pada yang Maha Kuasa. Jangan sampai seperti teman Mbak Sasa yang awalnya berdakwah sangat getol, hingga berubah drastis dan sangat jauh dari nilai-nilai ajaran agama.

Okey. Saya mengakui bahwa hidup itu pilihan, agama itu pilihan, perilaku itu pilihan. Tapi yang harus dicermati adalah, setiap pilihan ada konsekuensinya. Untuk itu pilihlah yang paling benar, tentu saja berdasarkan pengalaman dan referensi yang dimiliki. Untuk saya pribadi, referensi utama adalah Agama tentu saja mengikuti Al Quran dan Sunnah Rasul. Insyaallah, walau saya memang belum sempurna dan banyak sekali kerurangan dan kekhilafan dari saya yang bodoh ini.

So, untuk apa mempermasalahkan kenapa saya pakai kaos kaki? Dan kenapa saya membatasi diri  dengan hijab? Semua sudah ada referensinya, dan ahh tak perlu dipersoalkan. Masih banyak urusan umat dan masyarakat yang lebih penting. Trimakasih Mbak Sasa atas pertanyaan dan crita nya... Love You :*

Siwi Siwi Siwi



Ilustrasi (Ini gambar Dina)
Seperti biasa, jadwal materi hari Rabu di TPA ku adalah Quran Hadist dan kebetulan semalam aku membaca Surat Ar Rahman. Wah langsung punya ide untuk memberikan tugas santri-santri ku tentang surat Ar Rahman. Kubuat soal untuk mereka: 1. Dalam surat Ar Rahman ada satu ayat yang diulang-ulang terus menerus, temukan dan hitung berapa jumlahnya! 2. Tulis ayat tersebut beserta artinya!

Di akhir TPA, waktunya aku menilai semua hasil pekerjaan mereka. Ada yang menghitung jumlah ayat yang diulang tersebut 28 ayat, ada juga yang 39 ayat. Menggemaskan sekali ekspresi mereka, karena jumlah ayat yang diulang-ulang tersebut 31 kali. Ada yang langsung memasang mimik muka sedih karena salah menjawab, ada juga yang senyum-senyum bahagia karena jawabannya benar.

Di pojok kanan...

Ada seorang santri yang diam saja sejak dimulai TPA, hanya melamun terus-terusan dan dengan tatapan kosong. Namanya Siwi (nama disamarkan), santri baru yang belum lama naik ke kelas C. Kelasku. Bukunya kosong, tidak mengerjakan sesuatu dan hanya bengong sendirian. 

Sejak awal masuk ke kelasku, sempat agak curiga dengan santri ini. Dia sangat pendiam, kuperhatikan dia tidak berbaur dan bergaul dengan anak-anak yang lain. Bahkan bertegur sapa pun tidak, padahal dia sudah bertahun-tahun menjadi santri di TPA ku. Setiap datang TPA dia selalu telat, duduk paling pojok, dan mengaji paling terakhir. Satu hal yang sangat mencolok, Siwi selalu tertinggal ketika mencatat. Mencatat satu ayat pun sangat lama, karena sebagian besar waktunya hanya melamun saja. 

Ketika anak-anak lain sibuk mengerjakan tugas, dia pasti melamun. Biasanya kutergur, ‘’ Siwi, sudah selesai nulisnya?”. ‘Belum’, jawabnya. Tapi bukan jawaban ‘belum’ yang dapat didengarkan, hanya gerakan bibir saja mengucapkan kata ‘belum’. Okey, mungkin sedikit kuistimewakan anak ini karena memang anak ini cukup istimewa dan berbeda dari anak-anak yang lain.

Ketika mengaji pun suaranya sangat lirih, sampai berkali kali aku berucap ‘Yok, suaranya digedein. Ustadzah gak denger nih’. Tetap saja, suaranya kecil lirih sayup sayup seperti lagu pengantar tidur yang buatku mengantuk. Yang parah adalah aku jadi susah membenarkan bacaannya, karena aku tak bisa mendengarkan apa yang dia baca. Ya, ndak papa Siwi. Besok harus lebih baik ya...

Ada apa denganmu? 

Kedengaran seperti judul lagu ya? *mikir. Entahlah apa yang terjadi dengan Siwi, dua bulan ini aku mengenalmu tapi jujur saja aku belum bisa memahamimu seperti anak-anak yang lain. Ketika anak-anak lain protes ketika aku salah menulis Arab atau membaca, kau diam saja. Ketika anak-anak lain mengacungkan tangan mereka berebut menjawab kuis, kau diam saja. Ketika bermain game semua antusias untuk memenangkan lomba, kau juga diam saja. Ada apa denganmu?

Aku hanya bisa menerka-nerka dan menebak-nebak penyebabnya.

Satu. Masalah keluarga. Mungkin ada salah satu dari anggota keluarga yang menekanmu cukup keras di rumah, sering memarahi, atau berucap yang tidak baik terhadapmu.

Dua. Minder. Merasa bahwa teman-teman lebih pintar darimu dan kamu semakin terpuruk karena tidak bisa mengimbangi anak-anak yang lain. Karena sempat aku bertanya ke anak-anak, ‘Siapa yang juara di kelas?’. Selurus anak mengacungkan tangan, ada yang juara 1, 2, 3, dan minimal 10 besar di sekolahan. Hanya Siwi yang tidak mengangkat tangan dan ada anak lain menyeletuk ‘Kalau gak ngacungkan tangan, berarti yo gak juara Ust’. Hmm, kedengarannya sih celetukan polos anak-anak, tapi mungkin Siwi cukup sedih dengan kata-kata itu.

Tiga. Teknik mengajar yang salah. Ini yang perlu jadi introspeksi untukku secara pribadi. Anak-anak di kelas C memang belajar lebih banyak dari kelas lain. Kegiatan seperti menulis dan menghapal biasa kulakukan dalam 1 kali pertemuan. Hari ini belajar A begitu, langsung anak-anak kuminta mengahapalkan hari itu juga. Bisa jadi Siwi kaget dengan sistem belajar seperti itu. Bisa jadi.

Empat. Keterbelakangan mental. Katerbelakangan mental disini bukan berarti merujuk pada gangguan psikologis yang berat seperti autis, hiperaktif atau anak berkebutuhan khusus. Hanya sedikit ada beban mental yang dia miliki, atau memiliki dunia sendiri yang membuat dia susah bergaul dan berbicara dengan yang lain. 

Wallahu’alam, aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pasa Siwi. Insyaallah aku akan mendekatinya lebih dalam lagi, mengajaknya mengobrol, bercanda, siapa tahu dia bisa bercerita tentang dirinya dan masalah yang dihadapi. 

Tetap semangat Siwi, Siwi, Siwi....... :)